Jumat, 16 Oktober 2015

cerpen Fantasi: Cincin Berdarah

Namaku Dara. Aku tinggal di sebuah bangunan kuno yang sudah dibangun sejak berabad-abad lalu. Aku adalah generasi kesembilan cincin berdarah. Sebuah takdir yang hingga kini kusesali. Kenapa aku harus menjadi bagian dari anggota keluarga cincin berdarah. Aku mengutuk diriku sendiri yang hingga usiaku yang ke 18 ini bisa kuhitung berapa kali aku pernah keluar rumah. Aku tidak pernah mengenal dunia luar. Semua itu mereka lakukan untuk melindungiku. Tidak. bukan untuk melindungiku, melainkan untuk melindungi generasi cincin berdarah. Pernah aku mencoba untuk melarikan diri, namun, selalu saja tak pernah berhasil. 

Aku ingin bebas! Aku ingin mengenal dunia! Nenekku bilang aku harus menerima takdirku dan menunggu di bangunan kuno ini hingga kakek menemukan seorang lelaki yang bisa melindungiku dan melestarikan generasi kami. Tapi, sampai kapan aku harus menunggu? Mungkin kalian bingung, kenapa kami disebut sebagai generasi cincin berdarah. Kami dilahirkan untuk menjadi seorang pencuri cincin. Bukan pencuri cincin biasa. Tapi kami mencuri cincin dengan cara memotong jari korban kami hingga cincin itu berdarah. Setidaknya itulah yang diceritakan oleh nenekku. Pada kenyataanya kami tidak pernah melakukan hal itu. Nenek bilang itu karena kami tidak berinteraksi dengan dunia luar. Untuk itu, kami menjadi terisolasi di sini, di bangunan ini. Jumlah kami saat ini ada 3 kepala keluarga. Kakek buyutku, kakekku, dan ayahku. 

Aku mencoba mengusir rasa bosanku dengan berkeliling di perpustakaan. Hampir semua buku di sini sudah kubaca. Apalagi yang harus kulakukan selain membaca? Aku menelusuri berbagai judul buku. Mencari buku yang belum pernah aku baca. Seketika aku tersentak melihat sebuah buku hitam yang meneteskan beberapa tetes darah. Aku hampir melonjak dari tempatku berdiri. Tubuhku bergetar. Lututku lemas. Aku ingin lari. Namun, aku tidak sanggup menggerakkan kakiku dan malah menutup mulutku yang terbuka lebar dengan mata yang berair. Semakin lama tetesan itu semakin banyak saja. Aku tidak mengerti dari mana asalnya buku itu. Aku sudah 18 tahun di sini dan aku baru melihat buku itu seumur hidupku. Buku itu perlahan-lahan membuka sendiri, aku hanya bisa memperhatikan tanpa harus berbuat apa-apa ketika aku sudah tidak sanggup untuk melihatnya aku berteriak sekeras-kerasnya. Ibu dan ayahku langsung menemui dan bertanya apa yang yang terjadi. Aku tidak bisa menjawab mereka karena aku masih shock melihat jari-jari itu bergerak-gerak seperti seekor ulat. Ayah yang melihat itu langsung mengambil buku tersebut dan marah-marah tidak jelas. Ia mengumpat pada orang yang sudah menyimpan benda itu sembarangan. Aku menangis di pelukan ibu.
“Aku benci keluarga ini!” umpatku
Ibu memelukku semakin erat. Aku tahu ibu merasakan hal yang sama sepertiku. Ibu bukanlah keturunan asli cincin berdarah. ia manusia normal biasa yang jauh cinta pada ayah. Ibu bilang dulu ia bersedia menikah dengan ayah untuk menghilangkan kutukan cincin berdarah. setidaknya jika ibu melahirkan bayi laki-laki ikatan cincin berdarah akan terputus. Namun, siapa menyangka, akulah yang ternyata dilahirkan oleh ibu yang memiliki potensi untuk mengembangbiakan generasi terkutuk ini. Ayah adalah orang yang modern, ia ingin memathkan kutukan itu tanpa sepengatahuan kakek dan kakek buyutku. Ayah tidak ingin keturunannya terkekang dalam bilik besi yang dingin ini. Maka dari itu, ayah menikah dengan ibu walaupun dulu mendapat banyak pertentangan.
Setelah kejadian itu aku tidak berani lagi untuk masuk ke ruang perpustakaan. Aku lebih suka mengurung diri di kamar. Aku juga tidak berani menghias cincin yang biasanya kulakukan untuk mengusir rasa bosan. Jari-jari yang bergerak itu selalu membayangiku. Nenek selalu mencoba membujukku untuk membuat motif baru cincin-cincin itu. ia tidak menerima ketakutanku. Katanya ketakutanku tidak wajar. Nenek justru malah mengumpat pada ibuku yang menyebabkanku menjadi orang lemah.
“Aku tidak menerima tuduhanmu pada Ibuku!” kataku
“Kau memang sama keras kepalanya seperti ayahmu! Untuk mengembalikan rasa takutmu itu aku akan mengirimmu ke dunia luar! Biar kau rasakan sendiri bagaimana menyenagkannya memotong tangan orang dan mendapatkan cincin-cincin indah itu!”
Lalu seminggu kemudian aku sudah diasingkan dari bangunan kuno itu. Sejujurnya aku merasa senang dengan keputusan nenekku itu. Aku cukup yakin tidak akan melakukan hal yang pernah dilakukan oleh nenek-nenek moyangku. Saat ini aku melihat jutaan manusia berlalu lalang di depanku. Aku sangat menikmati pemandangan ini.
Kata ibu, ini namanya Bogor. Tempat ibuku dilahirkan. Aku tinggal di rumah nenekku. Nenek yang tidak mengetahui asal-usul ayahku. Nenekku seorang pemilik tempat penginapan. Aku bertugas untuk membantu nenek menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh pelanggan. Selama satu bulan aku tinggal di sini aku tidak pernah tergoda sedikit pun untuk mencuri cincin seperti yang dilakukan oleh anggota keluargaku yang lain. Ayah sangat senang mengetahui fakta itu. Dia sangat senang karena aku hampir tidak memiliki naluri untuk membuat cincin berdarah. Lagi pun aku semakin betah tinggal di sini. Dunia ini menyenangkan. Aku cukup punya banyak teman yang sebagian besar bekerja di penginapan nenek. Walaupun tingkahku sedikit aneh, mereka tetap menerima dan mengajariku berbagai hal.
“Ara tolong simpan peralatan mandi ini di kamar P.II.5” perintah nenek saat aku sedang berkumpul bersama teman-temanku.
“Baik Nek” jawabku.
“Wah di kamar P.II.5 itu adalah pelanggan tetap penginapan ini, Ra. Orangnya tampan gila!” teriak Andita “Aku saja lah, Ra yang anterin” rajuk Sarah “Ya sudah.” Jawabku datar sambil memberikan peralatan mandi yang sudah ada di tanganku. Toh aku tidak tertarik untuk mengetahui orang yang mereka katakana tampan itu. Sarah bersorak dan berlalu meninggalkan kami.
“Aneh kamu, Ra. Menang banyak ntar si Sarah!” ujar Andita.
“Lagian aku sedang malas, Dit. Rasanya energiku sedang tidak full” jawabku lemah.
Sudah hampir seminggu ini aku benar-benar lelah. entah kenapa rasanya aku kehilangan sebagian energiku. “Dara lo kenapa pucat banget mukanya?” tanya Sarah yang baru turun dari tangga.
Aku jadi ingat dongeng nenek buyutku yang mengatakan kalau kami tiba-tiba merasa lemah, artinya kami butuh cincin berdarah. Seketika aku tersentak. Aku melihat tangan kedua temanku. Syukurlah, mereka tidak memakai cincin. Aku menghembuskan napas lega.
“Kenapa Dara?” tanya Sarah lagi. Ia tampak kebingungan.
“Aku butuh istirahat kayaknya. Aku ke kamar dulu ya” aku beranjak meninggalkan mereka.
Tiba-tiba saja rasa takut menghantuiku. Bagaimana kalau aku sama seperti keluargaku yang lain. Aku menggelengkan kepalaku. Nenek datang menanyakan kabarku. Nenek khawatir melihatku yang pucat pasi. Aku lebih khawatir melukai nenek yang saat ini mengenakan cincin di kedua jari manisnya. Nenek menghampiriku dan duduk di sampingku. Tapi aku tidak memilki kekuatan untuk melakukan apapun. Setidaknya aku tidak akan melukai nenek kalau aku dalam keadaan lemah begini. Dan aku pun tertidur di pangkuan nenek.
                                                                              ***
Pagi ini keadaanku sudah lebih baik dari kemarin. Aku berniat mencari udara segar dan duduk di bangku taman. Kuku jariku tiba-tiba terlihat memutih. Kembali aku ingat dongeng nenek buyutku. Kuku putih menunjukkan bahwa energiku benar-benar akan habis. Kepalaku terasa berat. Dan perlahan kegelapan menerpaku. Aku membuka mataku dengan berat. Keningku sedikit berkerut melihat pemandangan yang tidak biasa kulihat, Aku dimana?
“Kamu sudah bangun?” aku menoleh.
Seseorang dengan suara berat menyapaku. aku tidak mengenalnya.
“Kamu tadi pingsan di taman.” Jelasnya.
Aku hanya ber-oh ria. Kepalaku tiba-tiba kembali terasa berat. Setengah sadar aku mendengar seseorang masuk.
“Hay Sayang! Ini siapa?”
“Ini cucu pemilik penginapan ini. tadi kulihat dia pingsan. Aku tidak tahu harus membawanya kemana?”
“Oh begitu. Kamu teleponlah Bu Sandra. Bilang kalau cucunya sakit. biar aku yang jaga”
Menurut pendengaranku, pria itu beranjak dan mnegikuti perintah wanita yang mungkin adalah kekasihnya. “Kasian sekali kamu” katanya sambil memegang keningku.
Seperti ada kekuatan dari dalam aku membuka mataku. Energiku seperti kembali penuh. Mataku secara refleks melihat jari tangannya yang memakai cincin cantik dengan permata kecil yang sungguh menggoda penglihatanku. Dengan kalut aku mencari benda tajam yang ada di sekitar kamar ini. Aku tidak mengerti apa yang akan aku lakukan. Wanita itu tampak terkejut.
“Kamu cari apa?” tanyanya bingung.
Wanita ini benar-benar tidak menyadari kalau dia sedang berada dalam bahaya.
“Kamu sebaiknya pergi!” teriakku “Atau kamu akan celaka!”
“Ini kamar tunangan gue, ya! Harusnya elo yang pergi”
Aku semakin gila. Aku berkeliling dan mencari benda-benda yang sekiranya bisa mematahkan jarinya itu. “Lo ngapain sih?” teriak wanita itu lagi
“Aku peringatkan kamu sekali lagi sebelum hal yang buruk terjadi sama kamu!”
“Harusnya gue yang bilang gitu!” Akhirnya aku menemukan pisau juga! Aku tersenyum dan mngarahkan pisau ini ke arah wanita itu.
“Ap.. Ap.. Apa yang lo lakuin?” ucapnya ketakutan.
Aku sudah kehilangan akalku dan tidak bisa menghentikan langkahku sampai suara teriakan wanita itu membuatku tersenyum puas.
                                                                         ***
“Apa yang terjadi?” lelaki itu terlihat kaget melihat kekasihnya yang terbaring tidak berdaya dengan salah satu jarinya terpisah. Sementara aku sedang memperhatikan jariku yang kini terpasang cincin cantik itu. Aku menatapnya dengan senyuman terbaikku. Lalu tanpa mengatakan sepatah kata pun aku pergi meninggalkannya.
                                                                          ***
Aku menutup kepalaku dengan tangan. Aku bergidik ngeri saat kejadian pagi tadi kembali terbayang. Apa yang sudah kulakukan? Aku seperti monster. Bagaimana kalau kejadian ini sampai ke telinga semua orang. Mereka akan mengusirku dan memusnahkan seluruh anggota keluargaku. Aku mendengar suara ketukan pintu dan pintu terbuka. Kupikir itu nenek. Dan ternyata benar. Kata nenek, ada yang ingin menemuiku. Aku yakin pasti lelaki dan perempuan itu yang datang. Dengan gemetar aku keluar. Tebakanku benar. Pria itu. Hanya saja, ia tidak bersama dengan tunangannya. Mungkin tunangannya sedang di rumah sakit. Aku berdeham kecil. Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Apa? Tersenyum? kenapa dia tersenyum? harusnya dia marah dong sama aku karena telah melukai kekasihnya.
“Aku Reza!”
katanya. Keningku berkerut. Dia tertawa dengan ringan. Aku hampir menganggap pria ini tidak waras. “Santai saja. Aku rasa aku sudah menemukan perempuan cincin berdarah itu”
Deg!
Apa-apaan ini?
Darimana dia tahu kalau aku keturunan cincin berdarah?
“Kamu tidak perlu bingung. Aku sebenarnya ingin berterima kasih padamu. Kamu telah melepaskan kutukannku” katanya lagi
“Kutukan?” tanyaku.
“Cincin yang ada di jari kamu itu adalah cincin berdarah yang akan kembali pada pemiliknya”
Aku tidak mengerti.
“Jadi, sebenarnya kakekku dulu pernah berpacaran dengan seorang wanita keturunan cincin berdarah. Namun, setelah kejadian seperti yang kamu lakukan barusan, kakeku menjadi takut dan meninggalkannya. Lalu pacar kakeku itu memberikan cincin itu. dia bilang cincin itu akan kembali pada perempuan cincin berdarah campuran di kemudian hari, yang aku simpulkan itu kamu”
Aku melongo. Aku tidak pernah mendengar dongeng itu dari nenek buyutku.
“Lalu kenapa cincin itu bisa ada di tunangan kamu? Kamu pasti marah banget sama aku!” Reza tertawa. “Sialnya. Saat kakekku menyuruhku menjaga cincin itu, Amira perempuan tadi tidak sengaja menemukannya dan memakainya. Ia tidak bisa melepaskannya dengan cara apapun. Dengan terpaksa aku menjadikannya tunanganku agar cincin itu tidak hilang”
Aku terduduk lemas. Cerita macam apa ini?
“Hay perempuan cincin berdarah. Aku mau mengenalmu lebih dekat bolehkah?”
Aku menggelengkan kepalaku. Cerita macam apa ini????

(the End)

2 komentar: