Di sebuah Keraton Kesunanan Jawa yang masih berdiri
sampai saat ini terjadi sebuah peristiwa yang teramat langka. Sepanjang sejarah
selama berabad-abad lamanya sebuah kejadian memilukan menimpa keluarga raja,
yaitu peristiwa meninggalnya Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Praja Diwono Senapati Ing Ngalaga
Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping XI
secara mendadak. Sang raja atau biasa disebut Susuhunan meninggal dalam
perjalanan kunjungan menuju kawasan wisata yang baru akan diresmikan.
Peristiwa meninggalnya raja ini membawa dampak yang serius bagi
kesunanan, pasalnya sang raja meninggal di usia yang masih sangat muda.
Susuhunan Praja Diwono XI meninggal pada usia 37 tahun, dengan hanya
meninggalkan seorang putra yang usianya baru menginjak 7 tahun. Bahkan untuk pertama kalinya dalam
sejarah sang raja tidak memiliki satu orang selir pun. Ia hanya memiliki
seorang permaisuri yaitu Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani yang saat ini tampak
tengah terguncang akibat tragedi yang baru saja dialami oleh suaminya.
Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani menatap dan mengusap wajah Abhimata yang
tampak pucat. Air matanya tak sanggup ia bendung. Lelaki yang amat dicintainya
ini pergi meninggalkannya dengan cepat. Meninggalkan rakyatnya, meninggalkan
kewajibannya, meninggalkan dirinya, juga meninggalkan putra mahkota mereka.
Sambil terisak, Kanjeng Gusti Ratu berujar,
“Njenengan kenapa pergi sekarang, Kang Mas? Kenapa njenengan ninggalin
Abyaz yang masih kecil? Siapa yang akan mengajari Abyaz mengelola kerajaan
kalau bukan njenengan?” jari-jemarinya menelusuri pipi dingin sang suami. Pipi
yang biasanya selalu memancarkan kehangatan. Kehangatan yang menurut pikirannya
tidak dimiliki oleh sunan-sunan sebelumnya. Kehangatan karena kebaikan hatinya.
Kehangatan karena rasa cinta yang dimilikinya.
Bagi Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani tidak ada sunan yang sebaik
Abhimata. Abhimata berbeda dengan sunan-sunan sebelumnya. Dia tidak gila
kekuasaan, bertindak secara wajar sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Sebagai
seorang raja, Abhimata pun tidak memanfaatkan posisinya untuk mencari selir
sebanyak-banyaknya. Ia adalah lelaki setia. Bagi Abhimata memiliki seorang
Handayani seorang pun cukup menenangkan hatinya. Ia tak perlu perempuan lain.
Terlebih ia tak ingin menyakiti hati permaisurinya. Ia jatuh cinta hanya pada
istrinya. Istrinya seorang, yang telah memberinya anugerah luar biasa, seorang
pangeran tampan yang ia beri nama Abyaz Wicaksana. Pangeran yang ia harapkan
kelak akan menjadi raja yang bijaksana.
Kanjeng Gusti Ratu memandang putranya dengan pilu. Sang Pangeran tidak
meneteskan air mata barang setetes pun. Ia hanya memandang wajah ayahnya dengan
air muka polos khas anak-anak. Jemari Kanjeng Gusti Ratu berpindah mengusap
kepala sang pangeran. Perasaannya menjadi was-was. Menurut aturan yang berlaku
bahwa kekuasaan raja akan berpindah langsung pada keturunannya. Itu artinya
apakah Abyaz akan langsung menggantikan posisi ayahnya? Kanjeng Gusti Ratu
menggelengkan kepalanya. Ia tidak setega itu membiarkan anak kecil memegang
tugas kerajaan yang begitu berat. Kemudian ia membawa pangeran ke dalam
pelukannya.
***
Prosesi pemakaman Susuhunan berlangsung dengan khidmat. Saat itu juga
Kanjeng Raden Adipati Buntoro, sebagai
Pepatih
Dalem mengumumkan bahwa
tampuk kekuasaan otomatis jatuh pada Gusti Raden Mas Abyaz Wicaksana sebagai putra
satu-satunya sang raja. Kanjeng Raden Adipati Buntoro menanyakan siapa yang
akan menjadi walinya sampai ia cukup umur.
“Saya rasa Abyaz memang masih perlu belajar, alangkah lebih baiknya jika
Kanjeng Raden Adipati Buntoro sebagai Perdana Menteri menggantikan terlebih dahulu
posisi Sunan, hingga Abyaz Dewasa.”
Kanjeng Raden Adipati Buntoro tersenyum tipis. Dalam hati ia bersorak
senang. Setidaknya impiannya untuk menjadi penguasa di Keraton Kesunanan Jawa
ini dapat terlaksana. Setidaknya sampai Gusti Raden Mas Abyaz cukup umur.
Selama itu pula ia akan memanfaatkan posisinya untuk mengatur kerajaan yang
sudah 23 tahun dikelolanya, sehingga seluk-beluk dan baik-buruknya kerajaan sudah
ia hafal betul.
“Kalau itu kehendak Kanjeng Gusti Ratu, saya tidak dapat menolaknya.
Sampai Gusti Raden Mas maksud saya Sunan Praja Diwono XII dewasa saya akan
menggantikan posisinya.”
Kanjeng Gusti Ratu mengangguk. Kemudian setelah prosesi pemakaman selesai
ia kembali ke istana kerajaan dan menyerahkan Abyaz pada
Abdi Dalem
yang bertugas sebagai
baby sitter.
Kepalanya terasa berat. Merebahkan tubuhnya di ranjang, Kanjeng Gusti Ratu tak
kuasa menahan air mata yang lolos dari sudut matanya. Hingga kemarin bahkan ia
masih bisa tertawa dengan suami dan anaknya. Waktu berlalu begitu cepat.
Kehendak Yang Kuasa tidak ada yang mengetahuinya. Matanya terpejam. Hanya
dengan menutup mata ia dapat melihat wajah rupawan sang suami.
Kesadarannya hampir tenggelam ke alam mimpi ketika terdengar suara
langkah kaki berat yang memasuki kamarnya. Matanya terbuka, ia mendudukkan diri
dan melihat Kanjeng Panembahan Dierja
yang tidak lain adalah ayahnya memasuki ruangan. Wajah ayahnya terlihat cemas.
Mengkhawatirkan kondisi anak, cucu, dan juga kerajaan ini sepenginggal sang
menantu.
“Apa keadaanmu baik-baik saja Gusti Ratu?”
“Tentu Romo tahu, keadaanku tidak baik. Aku begitu terpukul kehilangan
suamiku. Semua ini terjadi begitu cepat.” lirih Kanjeng Gusti Ratu.
“Romo mengerti. Hanya saja kesedihanmu jangan berlarut-larut. Ingat
sekarang anakmu sudah menjadi Sunan Praja Diwono XII. Kaulah yang bertugas
mendampingi dia. Usianya yang masih sangat belia rentan terhadap kecurangan
pihak-pihak yang iri hati.” Wajah Kanjeng Panembahan Dierja tampak serius.
Begitu pun Kanjeng Gusti Ratu ia tampak murung.
“Itu yang aku khawatirkan, Romo. Oleh karena itu, aku menyerahkan
kekuasaan sementara pada Kanjeng Raden Adipati Buntoro.”
“Itu bukan solusi,” Kanjeng Gusti Ratu memandang wajah ayahnya tidak
mengerti, “justru hal inilah yang membuatku khawatir. Sunan Praja Diwono XI
belum sempat mewariskan ilmunya pada Gusti Raden Mas Abyaz, romo khawatir ia
hanya akan jadi Sunan boneka suatu saat nanti.”
Mendengar pernyataan ayahnya, kekhawatiran yang dirasakan Kanjeng Gusti
Ratu semakin bertambah. Benar juga. Siapa yang menjamin kalau mereka-para Pepatih Dalem- tidak akan tergiur dengan
kekuasaan. Apalagi umur Abyaz masih sangat jauh untuk dapat memimpin keraton
secara benar. Dalam waktu selama itu tidak ada yang tidak mungkin jika
ketamakan akan kekuasaan menguasai pikiran Kanjeng Raden Adipati atau para Pepetih Dalem yang lain.
“Apa yang harus aku lakukan Romo?” tanyanya.
“Pergilah dari kota ini, Nak. Bawalah anakmu. Berikan pendidikan yang
layak di luar sana. Dengan begitu ia akan menjadi anak yang pandai, cerdas, dan
tak mudah dibodohi.”
“Apakah itu berarti kami harus meninggalkan istana, Romo?”
Kanjeng Panembahan Dierja mengangguk. Hanya itu satu-satunya cara untuk
menyelamatkan kerajaan ini. Berdasarkan pengamatannya binar mata yang
diperlihatkan Pepatih-Pepatih Dalem
itu menyiratkan ketamakan akan kekuasaan. Ia sudah hidup terlalu lama di dunia
ini. Tidak sulit baginya untuk melihat mana yang tulus mana yang tidak.
Sementara itu, tanpa mereka sadari seorang pria yang baru saja didaulat
menggantikan posisi Sunan Praja Diwono XII, yang tidak lain adalah Kanjeng
Raden Adipati Buntoro mendengar percakapan mereka. Air mukanya berubah keras,
jari-jemari tangannya mengepal. Hatinya pun terbakar. Ternyata orang tua itu
tidak mempercainya. Tapi, apa yang diungkapkan Kanjeng Panembahan itu memang
benar. Ia mengakuinya. Ia sangat ingin menguasai kesunanan ini. Sudah 23 tahun
ia mengabdi. Ia tidak rela harus dipimpin oleh anak ingusan yang bahkan baru lahir
kemarin sore. Ini adalah kesempatannya. Untuk itu, ia harus memikirkan strategi
apa yang harus dilakukan untuk menyingkirkan bocah kecil itu.
***
Kanjeng Raden Adipati Buntoro memasang ekspresi kaget mendengar ungkapan
Kanjeng Gusti Ratu yang mengatakan akan pergi ke luar kota untuk menenangkan
diri dari kesedihan. Namun, hatinya bersorak dengan gembira. Ternyata untuk
menyingkirkan mereka dari istana ini tidak sulit. Ia hanya perlu membuat mereka
betah di luar istana. Apalagi Abyaz masih sangat kecil, ia akan mudah
terkontaminasi dengan dunia luar. Jadi, ia akan berusaha mengalihkan perhatian
anak itu pada dunia di luar istana.
“Kalau boleh tahu, Kanjeng Gusti Ratu hendak pergi kemana? Lalu jika
Kanjeng Ratu dan Sunan Praja Diwono XII juga pergi, bagaimana Sunan akan
mempelajari tugas dan kewajibannya Gusti Ratu?” Raden Adipati Buntoro
berbasa-basi.
“Tenang saja Raden Adipati, saya akan membawa Sunan setahun sekali ke
sini. Untuk tempat saya mempercayakannya pada Kanjeng Panembahan Dierja.”
Kanjeng Gusti Ratu kemudian memandang ayahnya yang menganggukan kepala padanya.
“Sebagai Perdana Menteri yang nasihatnya didengarkan oleh Sunan Praja
Diwono XI, bolehkan saya memberikan sedikit saran untuk tempat tinggal Gusti
Ratu?” mendengar nama suaminya disebut, mau tidak mau Kanjeng Gusti Ratu
menanggapi pertanyaan Kanjeng Raden Adipati Buntoro.
“Dimanakah itu, Raden Adipati?”
“Ibu kota Indonesia, Gusti Ratu. Saya rasa Sunan Praja Diwono XII perlu
lebih dekat dengan istana merdeka. Kelak ia akan menjadi sunan yang mengabdikan
diri untuk kesunanan kita tercinta.”
***
Sepuluh tahun sudah Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani dan Sunan Praja
Diwono XII tinggal di tengah hiruk pikuk ibu kota. Ya. Akhirnya mereka
memutuskan untuk tinggal di Jakarta sesuai dengan nasihat Perdana Menteri. Ia
khawatir mereka akan curiga jika ia menolaknya, sehingga meski penuh
kekhawatiran dengan konsekuensi tinggal di ibu kota Kanjeng Gusti Ratu menerimanya.
Usia Sunan sudah memasuki 17 tahun, artinya tinggal satu tahun lagi mereka
kembali ke Istana Kesunanan.
Abyaz tumbuh menjadi remaja yang tampan dan juga cerdas. Ia selalu
membanggakannya dengan semua prestasi-prestasi yang diperolehnya. Tak pernah
anaknya itu mengecewakan dirinya barang sekali pun. Hanya saja akhir-akhir ini
ia heran, anaknya ini sering sekali pulang malam. Ketika ditanya pun respon
yang diberikan hanya sekadarnya. Anak itu menjadi dingin dan jarang sekali
bercerita seperti biasanya.
“Sunan, tahun ini Bunda minta kamu bersedia ya, Nak, mengunjungi istana.”
Pinta Sri Handayani saat mereka sedang sarapan. Ya. Sudah tiga tahun mereka
tidak mengunjungi istana kesunanan karena penolakan Abyaz. Alasannya karena
Abyaz merasa kunjungan itu tidak memberikan dampak apa-apa. Lagi pula
kedatangannya pun tidak diharapkan di sana. Ia sudah tahu bahwa mereka
orang-orang istana tidak menghendakinya menjadi Sunan.
“Sudah kubilang Bunda, jangan memanggilku dengan embel-embel Sunan. Ini
bukan istana. Panggil aku Abyaz saja. Aku ingin terlihat normal seperti
anak-anak lainnya.”
Sri Handayani mengangguk sambil tersenyum. Meski hatinya merasa sedih
dengan ucapan anaknya. Ia hanya ingin anaknya itu tidak melupakan jati dirinya
sebagai raja. Penolakan memanggil nama Sunan sudah terjadi sejak tiga tahun
belakangan. Semenjak anaknya memutuskan untuk tidak mengunjungi istana sampai
batas waktu yang ditentukan.
“Oh iya, mengenai kunjungan. Aku rasa aku belum bisa bunda.” Abyaz
menjawab singkat tanpa memberikan alasannya.
“Usiamu sudah 17 tahun, Nak. Tahun depan kamu sudah harus menjalankan
kewajibanmu sebagai raja. Kamu tidak boleh melupakan tugas dan kewajibanmu di
istana,” Sri Handayani sebisa mungkin mengatakannya dengan halus, “ingat kamu
memiliki rakyat yang menunggu kedatanganmu di sana.”
Abyaz memejamkan matanya. Tangannya mengepal. Ia paling tidak suka
membahas masalah ini. Baginya persoalan ini begitu berat. Ia ingin menjadi anak
yang normal, sama seperti teman-temannya.
“Abyaz, berangkat sekolah dulu, Bunda.” Katanya lalu mencium tangan bundanya
tanpa merespon pernyataan mengenai kerajaan. Ibunya hanya mengangguk dan tanpa
sepengetahuan Abyaz air matanya menetes.
Abyaz melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi. Meski ia
tak mau memikirkan persoalan di kerajaan. Tapi pikirannya terus saja dipenuhi
segala seluk beluk kerajaan. Kenapa ia harus dilahirkan dalam keluarga
bangsawan? Kenapa ia tidak bisa menjadi seperti anak-anak yang lainnya? Mereka
terlihat bahagia tanpa beban berat seperti yang dipikulnya. Mereka tertawa,
bermain, dan memiliki mimpi yang tinggi untuk mengejar cita-cita. Ia pun
memiliki cita-cita. Ia ingin menjadi seorang arsitek dan pergi kuliah ke luar
negeri. Nyatanya setelah lulus ia harus kembali ke istana dan berhadapan dengan
orang-orang yang membenci dirinya.
Abyaz menyadari bahwa para Pepatih
Dalem itu tidak menyukainya. Terlebih perdana menteri. Ia masih ingat
kunjungan terakhirnya ke Istana yang membuatnya memutuskan tak ingin berkunjung
lagi ke sana. Ketika itu, di usia yang baru memasuki 14 tahun rasa ingin tahu
yang tinggi mengenai istana membuatnya antusias. Ia berkeliling istana dan
berniat menceritakan keindahan istananya pada teman-teman sekolahnya. Namun,
tanpa sengaja ia mendengar percakapan Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan para
Pepatih Dalem istana.
“Kalau anak itu masih sering berkunjung, tidak akan menutup kemungkinan
posisi kita akan tergeser. Hal ini akan membuat usaha kita sia-sia saja.” ujar Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan
sinis.
“Bagaimana kalau kita lakukan cara yang sama untuk menyingkirkan anak itu
seperti kita menyingkirkan ayahnya.”
Bagai mendengar petir di siang bolong, Abyaz menutup mulutnya. Apa yang
baru saja mereka katakan? Apakah itu artinya ayahnya meninggal bukan karena
penyakit jantung seperti yang mereka katakan? Jadi, ayahnya meninggal karena
direncanakan? Dan mereka berencana untuk membunuhnya juga? Abyaz berlari dan
mencari-cari ibunya. Seketika itu juga ia langsung mengajak ibunya pulang ke
Jakarta. Ia tidak ingin mati terbunuh dan memutuskan tidak ingin kembali ke
istana. Abyaz tidak pernah menceritakan ini pada ibunya. Cukup ia saja yang
tahu bagaimana bobroknya orang-orang di istana.
“Woy! Ngelamun aja, lo!” seseorang menepuk pundaknya, “diputusin Reyna,
ya?” Abyaz menatap kesal pada teman petakilannya yang kini tengah duduk di
depannya sambil cengengesan.
“Enak aja, lo! Reyna nggak mungkinlah mutusin gue, dia kan cinta mati
sama gue!” Abyaz menaikan alisnya dengan bangga, “di dunia ini mana ada sih cewek
yang berani meninggalkan gue. Jadi yang kedua aja mereka berani.” Abyaz
terkekeh melihat temannya mendengus kesal.
“Oh, jadi gitu, ya?” suara lembut seorang gadis perempuan membuat Abyaz
langsung salah tingkah, “kalau kamu punya yang kedua, yang pertamanya bukan aku
dong ya karena aku ngga sudi diduain.” Gadis itu menatap tajam pada lelaki yang
kini terkekeh tanpa dosa.
“Mampus, Lo!”
“Ngga kok, Rey. Aku bercanda doang sama Devan. Ya kan Dev?”
“Au” Devan mengendikkan bahunya, “gue nggak ikutan ya. Bye!” dengan
kurang ajarnya Devan pergi meninggalkan mereka berdua ke luar kelas.
“Beneran deh, Rey. Aku Cuma bercanda doang. Lagian Devan kurang ajar
banget bilang kamu mutusin aku. Padahal kita kan tidak akan terpisahkan, iya
kan?” Abyaz mencoba memamerkan senyum termanisnya. Sayangnya Reyna malah
menatap wajah Abyaz dengan air muka yang serius. Ia duduk di kursi yang baru
saja ditinggalkan Devan.
“Beneran deh aku nanya sama kamu, kamu kenapa sih jadi sering ngelamun?”
“Aku cuman bercanda doang sama Devan, Sa.. Eh apa? Melamun?” Abyaz tampak
bingung menjawab pertanyaan Reyna. Ia tidak tahu kalau persoalan istana
membuatnya menjadi seseorang yang pemurung.
“Kamu juga jadi sering pulang larut malam, kan? Bunda sering nanyain kamu
ke aku. Sebenarnya kamu kemana aja? Kamu kenapa?”
Abyaz menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab
apa. Reyna belum tahu kalau ia adalah seorang bangsawan. Dan ia juga tidak
ingin Reyna mengetahuinya. Bagaimana reaksinya kalau sampai Reyna tahu ia
adalah seorang raja. Dan lagi ia tidak pulang karena tidak sanggup menghadapi
bundanya yang terlihat bersedih dan sangat berharap ia segera kembali ke
istana. Ia tidak memiliki alasan yang tepat untuk menolak bahwa ia tidak ingin
kembali ke kerajaan.
“Kamu harus cerita sama aku. Kamu nggak percaya sama aku? Atau
jangan-jangan kamu melakukan hal yang iya-iya ya di luar sana?” Reyna
memelototkan matanya yang justru malah membuat Abyaz tertawa. Lucu sekali gadisku
ini pikirnya.
“Yang iya-iya gimana maksudnya?” Abyaz kembali tertawa membuat Reyna
mengerucutkan bibirnya, “ggak apa-apa Rey. Aku hanya sedang takut memikirkan
masa depanku saja.” Jawab Abyaz. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Pada
kenyataannya masa depanlah yang memang ia khawatirkan. Mendengar jawaban Abyaz
yang terlihat jujur membuat reyna menghembuskan napasnya.
“Apa sih yang kamu takutkan? Kamu itu udah hebat dalam segalanya. Kamu
ingin jadi arsitek kan? Kamu udah sangat berbakat dalam gambar menggambar,
akademik kamu yang lain juga bagus. Jadi kamu nggak perlu membuat bunda
khawatir!”
Abyaz menatap Reyna sambil tersenyum. Kemudian ia mengangguk. Masalahnya
bukan itu yang ia khawatirkan, Rey. Ia mengkhawatirkan posisinya sebagai raja.
Ia tidak ingin kembali ke istana. Ia tidak ingin mati konyol karena ketamakan
penguasa-penguasa istana. Telebih ia juga tidak ingin berpisah dengan gadis
yang ada di depannya ini. Reyna. Gadis cerdas yang manis.
“Rey,” panggilnya. Reyna mengangkat alisnya, “bagaimana tanggapan kamu
terhadap keraton-keraton yang masih berdiri di Indonesia hingga sekarang?”
Abyaz sepertinya ingin tahu bagaimana tanggapan orang-orang biasa seperti Reyna
terhadap keluarga bangsawan.
“Maksud kamu seperti Keraton Ngayogyakarta begitu?” Abyaz mengangguk, “menurutku sih ya bagus
juga di zaman yang modern ini, kita bisa mempertahankan kerajaan-kerajaan yang
dulu berjaya di Indonesia. Mereka itu cagar budaya yang tetap harus lestari,
Abyaz. Kalau mereka tidak ada mungkin kita akan kehilangan bukti otentik dan
hanya tahu dari buku-buku sejarah.”
“Kalau kamu bertemu salahsatu dari mereka apa yang akan kamu lakukan?”
“Hmm. Apa ya?” Reyna mengetuk-ngetukan jarinya ke meja, “mereka juga sama
seperti kita kan? Hanya saja karena status mereka bangsawan saja yang
membedakannya. Ya aku nggak akan gimana-gimana sih. Aku nggak akan heboh cuman
sedikit penasaran aja bagaimana kehidupan para bangsawan itu.” Abyaz
menganggukkan kepalanya.
“Ah bete deh!” teriak Reyna setelah panjang lebar menjawab pertanyaan
Abyaz.
“Kok bete?” Abyaz menaikkan alisnya.
“Kamu kan tahu aku suka sejarah. Ah kamu bikin aku pengen pergi ke
keraton-keraton deh. Tanggung jawab ah! Ngga tahu bete!” Reyna menyilangkan
kedua tangannya membuat Abyaz mau tidak mau tertawa. Jika itu memang maumu aku
akan membawamu ke istanaku pikir Abyaz.
***
Abyaz merenungkan jawaban-jawaban yang diberikan Reyna mengenai keraton.
Pikirannya masih bimbang. Apa yang harus ia lakukan dengan kerajaannya. Ia
sungguh tidak ingin mati konyol hanya demi sebuah singgasana. Jika kekuasaan
cukup membuat mereka yang kini berkuasa membuat dia dan bundanya tetap hidup ia
rela menyerahkannya. Ia sungguh khawatir jika memaksakan diri memasuki istana,
bukan hanya nyawanya saja tapi nyawa bundanya juga akan ikut terancam.
“Bunda,” Sri Handayani mengalihkan wajahnya dari benang rajut pada Abyaz
yang menunjukkan air muka serius.
“Kenapa anakku?” tanyanya. Sri Handayani merasa senang. Akhirnya anaknya
mulai berbicara lagi dengannya.
“Keraton hanya sebuah cagar budaya. Kenapa kita harus repot mengurus cagar
budaya yang didanai oleh pemerintah?” tanyanya, “jadi sebenarnya apa fungsi
raja di istana, Bunda?”
Sri Handayani menghembuskan napasnya. Ia merasa lega. Akhirnya putranya
mau membicarakan urusan keraton. Hal ini penting mengingat keadaan keraton
menurut informasi dari seorang Abdi Dalem
tengah dilanda kekacauan. Jadi itu yang selama ini ada di pikiran anaknya.
Tidak heran. Abyaz sudah lama tinggal di luar istana.
“Nak, pemerintah memang mendanai keraton agar keraton tetap lestari.
Fungsi raja sangat penting di istana. Seorang raja yang bijak mutlak diperlukan
agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan di istana. Jika raja bijak,
rakyat pun akan sejahtera. Kita di sana diberi tanggungjawab untuk mengurus wilayah
kesunanan, Nak.”
Abyaz menghembuskan napasnya. Tapi jika ia tidak diinginkan di kerajaan
hal ini hanya akan membuat kerajaan menjadi kacau balau saja. Ia tidak tahu
bagaimana perkembangan keraton sekarang. Sungguh semenjak mengetahui bahwa
ayahnya dibunuh karena politik para Pepatih
Dalem ia ingin melepaskan diri dari istana. Itulah yang membuatnya enggan
kembali ke istana.
“Bunda jika aku tahun ini membawa Reyna ke keraton apakah bunda
mengizinkannya?” Abyaz bertanya dengan ragu. Bunda mengetahui hubungannya
dengan gadis itu. Meski tidak pernah mengatakan setuju tapi bunda juga tidak
melarangnya. Mendengar pertanyaan putranya, air muka Sri Handayani berubah.
“Itu artinya kamu bersedia berkunjung ke istana, Nak?” Sri Handayani tersenyum,
“tentu saja bunda mengizinkan, Nak, hanya saja kamu harus meminta izin pada
orang tuanya terlebih dahulu ya.”
“Tapi bunda jangan memberitahukan identitasku padanya, ya, Bun?” Sri
Handayani mengangguk. Kemudian ia bangkit dan memeluk putra semata wayangnya.
Ia berharap kunjungannya ini dapat membuka pikiran Abyaz terhadap kerajaan.
***
“Benarkah, Bunda?” tanya Reyna antusias. Saat ini mereka tengah berada di
kediaman Abyaz. Abyaz menjelaskan bahwa besok ia akan pergi berlibur ke Jawa
dan mengajak Reyna sambil mengunjungi Keraton Kesunanan Jawa. Sri Handayani
mengangguk sambil tersenyum.
“Jika kamu bersedia, bunda akan meminta izin pada orang tuamu.”
“Mau banget, Bunda. Orang tua Reyna kalau tahu bunda ikut ya pasti izinin,
Bun. Asalkan jangan berduaan aja sama si itu tuh.” Reyna menunjuk Abyaz dengan
dagunya.
“Kalau bukan karena aku, kamu juga nggak akan pergi kali.” Abyaz
menjulurkan lidahnya.
“Aku cuman butuh bunda, nggak butuh kamu.” Reyna ikut memeletkan
lidahnya. Kanjeng Gusti Ratu menggelengkan kepalanya. Ia senang anaknya bergaul
dengan gadis cerdas seperti Reyna. Reyna bukan tipe gadis yang suka hura-hura.
Juga bukan tipe gadis yang tidak tahu tata krama. Tidak membawa pengaruh buruk bagi anaknya. Itu yang membuatnya
mengizinkan Reyna masuk dalam kehidupan mereka. Gaya pacaran mereka juga tidak
berlebihan seperti anak zaman sekarang. Mereka malah terlihat seperti berteman
biasa.
Keesokan harinya mereka berangkat pagi-pagi sekali. Reyna tampak
menikmati perjalanan mereka. Sepanjang jalan ia tidak memejamkan matanya barang
sedikit pun. Kamera selalu berada dalam genggamannya. Ia tidak menyangka bisa
pergi berlibur ke luar Jakarta. Selama ini orang tuanya selalu tidak memberinya
izin pergi kemana-kemana. Bahkan studi tur yang diadakan sekolah saja mereka
tak izinkan. Beruntung sekali ia bisa diizinkan pergi ke pulau Jawa. Itu semua
karena bundanya Abyaz. Entah magnet apa yang diberikan Bunda dan Abyaz. Abyaz
adalah lelaki pertama yang diizinkan orang tuanya memasukan kehidupan
pribadinya. I’m so a lucky girl ever in
the world pikirnya.
Ketika memasuki istana keraton, Reyna tidak bisa berhenti berdecak.
Suasana keraton yang tradisonal benar-benar melekat di kesunanan ini.
Benar-benar terasa seperti di kerajaan Mataram Kuno.
“Senang?” tanya Abyaz. Reyna mengangguk sambil terus memotret hal-hal
yang menarik perhatiannya.
“Kupikir kamu akan mengajakku ke keraton Ngayogyakarta.”
“Jadi, kamu nggak suka aku ajak ke sini?” Abyaz bertanya seolah
tersinggung.
“Jangan sensitifan gitu ah. Bukan gitu, kan yang terkenal itu. Aku justru
seneng. Makasih ya sayang.” Reyna memamerkan gigi putihnya.
“Apa?” Abyaz tersenyum mendengar panggilan Reyna. Untuk pertama kalinya
Reyna memanggilnya begitu. Ia melihat perubahan warna pada pipi sang gadis.
Kenapa Reyna malah so malu-malu begitu?
“Makasih ya Abyaz. Aku seneng banget.”
“Tadi aku dengernya nggak gitu. Ucapin sekali lagi aja dong.” Goda Abyaz.
“Udah ah kamu jangan godain aku! Atau aku marah nih.”
“Jangan ngambek dong sayang!” Reyna mencubit pinggang Abyaz. Ia berlari
menuju salahsatu ruangan yang berada di pojok istana. Abyaz yang baru menyadari
ruangan apa itu buru-buru menarik Reyna.
“Ih apaan sih?” Reyna mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Abyaz,
“aku kan ingin lihat raja-raja di sini dari masa ke masa!”
“Jangan ah sayang. Raja di sini jelek-jelek. Nanti kamu menyesal lagi liatnya.”
Jawab Abyaz seadanya sambil terus membawa Reyna menjauh dari ruangan tersebut.
“Bohong! Bilang aja kamu cemburu karena mereka tampan-tampan iya kan?
Apalagi aku barusan searching katanya
raja yang sekarang masih muda dan seumuran kita.”
Abyaz membalikkan tubuhnya dan memelototkan matanya.
“Apa? Tadi kamu searching?” teriaknya
panik. Reyna tertawa ternyata Abyaz memang cemburu pikirnya.
“Iya. Aku tahu namanya loh. Tapi panjang banget aku susah nyebutinnya.
Sayangnya fotonya tidak ada di website
mana pun.” Reyna memanyunkan bibirnya sedangkan Abyaz menghembuskan napasnya
lega. Pasti nama yang dimaksud Reyna adalah gelarnya. Ia tertawa geli.
Beruntung ia tak pernah mengizinkan media mengambil fotonya.
“Kok ketawa?” Reyna memperlihatkan wajah cemberutnya.
“Pokoknya kamu jangan pergi-pergi ke sana ya. Aku nggak suka. Aku
cemburu. Kamu boleh pergi kemana pun. Asal jangan ke ruangan itu. Okay?” Reyna
menganggukkan kepalanya. Lagian kalau Abyaz sudah bersikeras seperti itu ia
bisa apa?
***
Kanjeng Raden Adipati Buntoro memperhatikan tingkah dua remaja itu.
Bibirnya tersenyum tipis. Anak itu tengah dibutakan oleh cinta pikirnya. Ia
sempat khawatir ketika mendengar kunjungan yang akan dilakukan oleh Sunan Praja
Diwono XII itu. Padahal ia sudah sangat senang karena sudah tiga tahun mereka
sama sekali tidak pernah ke istana. Ia merasa menang. Kekuasaan akan mutlak
menjadi miliknya. Namun, ia tidak tahu motif apa sehingga kemarin ia mendengar
bahwa raja akan mengunjungi istana.
“Sungguh pemandangan yang indah bukan?” ucap seorang Pepatih Dalem dengan penuh sarkas. Mereka berdua tertawa.
“Kekuasaan akan tetap menjadi milik kita.” jawabnya, “anak itu tengah
dimabuk cinta. Kau lihat matanya? Seolah dunianya hanya milik gadis itu.”
sekali lagi Kanjeng Raden Adipati Buntoro tersenyum tipis.
“Tentu. Hanya kau yang pantas menjadi raja.”
***
Sri Handayani tidak bisa menahan isaknya. Ia mengusap nisan suami dan
ayahnya. Kedua orang yang selalu melindunginya telah tiada. Sejak Kanjeng
Panembahan Dierja meninggal dua tahun lalu, pertahanannya terasa roboh apalagi
semenjak Abyaz tidak lagi mau berkunjung ke istana. Harapannya terhadap
kesejahteraan keraton seolah hampir pupus. Diusianya yang masih terbilang muda
ia tampak lebih tua. Semoga kunjungannya kali ini membawa berkah. Entah kenapa
ia percaya gadis itu akan membuka pikiran anaknya.
“Bunda.” Abyaz mengusap punggung ibunya, mencoba menenangkan wanita kuat
yang selalu berdiri di belakangnya.
“Reyna?” tanya bundanya ketika ia tidak melihat keberadaan gadis itu.
“Dia sedang bercakap dengan salahsatu Abdi
Dalem, Bun. Lagian aku tidak mungkin membawanya ke sini. Aku tahu Bunda
pasti akan menangis.” Abyaz memeluk dan
terus mengusap-usap punggung ibunya.
“Pergi dan carilah Reyna. Ajak ia berkeliling. Bunda akan menemui Kanjeng
Raden Adipati Buntoro. Setelah itu kita pulang.”
Abyaz menggelengkan kepalanya. Ia takut sesuatu terjadi pada bundanya. Ia
tidak akan membiarkan kejadian malang yang menimpa ayahnya menimpa dia dan
bundanya.
“Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan Perdana Menteri. Ayo kita pergi
bersama Bunda”
Meski heran, Sri Handayani menggangguk. Mereka bangkit dan beranjak
menuju ruangan sang Perdana Menteri. Dengan penuh basa basi Kanjeng Raden
Adipati Buntoro mempersilahkan Sri Handayani dan Sunan Praja Diwono XII
memasuki ruangannya.
“Suatu kehormatan Sunan Praja Diwono XII dan Kanjeng Gusti Ratu
berkunjung kemari. Saya sempat khawatir tidak lagi mendengar kabar Gusti Ratu
dan Sunan.”
Munafik! Pikir Abyaz. Ia mendengus dengan keras. Membuat ibunya dan Kanjeng
Raden Adipati Buntoro menoleh ke arahnya. Abyaz memperhatikan ruangan yang
tampak mengerikan. Di ruangan ini ia mendengar bahwa mereka berniat
menyingkirkannya. Di tempat ini ia juga mendengar bahwa ayahnya mati karena
pembunuhan berencana. Ia bergidik dan membayangkan dia dan ibunya mati secara
perlahan di istananya sendiri. Abyaz bangkit dan menarik lengan ibunya.
“Mulai sekarang aku serahkan jabatanku padamu. Berkuasalah hingga kau
mati dengan cara yang wajar. Aku harap kau tidak mati seperti ayahku.” Setelah
mengucapkan kalimat itu, Abyaz membawa ibunya keluar.
“Apa yang kamu katakan, Nak?”
“Sudahlah Bunda. Bagaimana pun aku mencoba masuk ke istana. Aku selalu
takut. Aku tidak bisa menjadi raja. Aku tidak ingin kita berdua mati seperti
ayahanda.”
“Apa maksudmu mati seperti ayahanda?” Sri Handayani mengehentikan
langkahnya dan menatap Abyaz enuntut penjelasan.
“Asal Bunda tahu kenapa aku tidak pernah ingin kembali ke sini karena
tiga tahun lalu aku mendengar pembicaraan Perdana Menteri dan Pepatih Dalem yang lain akan
menyingkirkanku sama seperti mereka menyingkirkan ayah.”
Sri Handayani menutup mulutnya. Ia mengetahui fakta baru yang menyakitkan.
Selama sepuluh tahun yang ia tahu bahwa suaminya meninggal karena penyakit
jantung. Jadi, suaminya meninggal karena dibunuh? Dan mereka berniat membunuh
anaknya juga? Sri Handayani menggelengkan kepalanya. Tidak akan aku biarkan! Ia
mengusap air matanya lalu memeluk anaknya. Ia mengusap kepala Abyaz dengan
penuh kasih sayang. Ia tidak akan membiarkan anaknya memiliki nasib yang tidak
beruntung seperti suaminya.
“Ayo kita pulang, Nak. Bunda tidak akan membiarkan hal ini terjadi.
Kenapa kamu tidak pernah bercerita, Nak?” Abyaz menggeleng dan mengatakan bahwa
ia tidak ingin ibunya bersedih. Sri Handayani mencium kening anaknya dengan
penuh kasih sayang. Sungguh permainan politik yang kejam. Abhimata yang malang
telah menjadi korban ketamakan kekuasaan.
***
“Bunda dan Abyaz dari mana saja, sih? Reyna pikir kalian udah ninggalin
Rey di sini!” Reyna menepis lengan Abyaz yang berhasil menyentil keningnya.
“Kamu yang keluyuran! Udah puas belum liat-liatnya?” tanya Abyaz sinis.
“Jahat banget sih nanyanya. Bunda.” Reyna merengek dan memeluk bunda yang
tersenyum menyambut pelukannya.
“Udah puas belum Rey? Kalau belum biar Abyaz antar kamu jalan-jalan.
Kapan lagi kita bisa ke sini.” Reyna menggeleng.
“Udah puas kok, Bun. Ayo kita pulang.”
Bunda mengangguk dan mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Di
tengah perjalanan mereka bertiga tertawa melihat hasil jepretan Reyna. Sesekali
Reyna memuji gaya arsitektur kuno keraton. Reyna juga berceloteh ke sana ke
mari. Membuat perjalanan pulang terasa menyenangkan. Namun, di foto terakhir,
wajah Reyna terlihat sendu. Ia tidak kuasa menahan air mata untuk tidak lolos
dari pelupuk matanya. Hal itu membuat Abyaz dan bundanya saling berpandangan.
Mereka memperhatikan foto tersebut. Tidak ada yang aneh hanya foto selfie Reyna
dengan seorang Abdi Dalem.
“Apa yang membuat kamu menangis, Nak?” tanya bunda yang tepat berada di
samping kanan Reyna. Reyna menggelengkan kepalanya.
“Siapa sih raja keraton ini?” Bunda dan Abyaz kembali berpandangan, “kok
tega-teganya meninggalkan kerajaan di tengah keadaan keraton yang carut-marut.”
Sekali lagi bunda dan Abyaz berpandangan. Abyaz bahkan merasa sulit menelan
salivanya sendiri.
“Memangnya kenapa, sayang?” tanya bunda lagi.
“Aku barusan bertemu seorang Abdi
Dalem. Dia sudah tua. Dia bilang sejak Sunan Praja Diwono XI meninggal
keadaan keraton sangat kacau. Ditambah Sunan Praja Diwono XII yang kabur
dari...”
“Dia tidak kabur!” sela Abyaz sedikit menahan emosi. Namun bunda mengangkat tangannya meminta Abyaz untuk
tidak menyela pembicaraan Reyna.
“Sunan Praja Diwono XII kabur dari istana sejak tiga tahun lalu. Dulu
katanya mereka meninggalkan istana untuk menenangkan diri dari kesedihan.
Salama tujuh tahun, setiap tahun mereka selalu berkunjung. Namun sejak tiga
tahun lalu Sunan Praja Diwono XII tidak pernah ke istana lagi padahal istana
sangat membutuhkan rajanya.” Reyna terus terisak. Sedangkan Abyaz hanya menatap
lurus ke depan dengan eskpresi datar.
“Apa yang mereka butuhkan dari raja? Mereka punya Perdana Menteri.” Secara
tersirat Abyaz mencoba membela diri. Reyna menggelengkan kepalanya dan semakin
terisak membuat bunda mau tidak mau mencoba menenangkan gadis itu.
“Kamu nggak tahu kalau Perdana Menteri dan antek-anteknya itu sangat
jahat. Mereka sangat tamak dengan uang. Anggaran APBD yang diberikan setiap
tahun oleh pemerintah entah dipakai untuk apa. Kamu tahu para Abdi Dalem selalu telat mendapat upah.
Padahal upah mereka tidak seberapa.”
“Upah mereka kurang dari seratus ribu. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana mereka menghidupi diri dan keluarganya. Meski mereka mengaku tidak
masalah dengan keuangan karena mereka mencari berkah dari keraton. Hanya saja
mereka khawatir terhadap nasib rakyat. Tidak jarang mereka memungut pajak yang
berlebihan. Padahal rakyat sedang paceklik. Harga bahan pokok pun naik.”
“Aku tidak menyangka zaman sekarang masih ada yang begitu. Ini seperti
penjajahan pada zaman Belanda. Keraton Kesunanan Jawa itu benar-benar gagal.
Aku tidak mau berkunjung ke sana lagi. Rakyat saat ini sedang menanti rajanya.
Mereka percaya rajanya akan sebijaksana ayahnya. Hanya saja mereka kesulitan
melacak keberadaan raja. Di mana gerangan keberadaan raja itu? Apakah bunda dan
Abyaz pernah mendengar tentang raja itu?”
“Sudah sayang, rakyat akan baik-baik saja.” Bunda mencoba menenangkan
Reyna. Padahal hatinya benar-benar sakit. Separah itukah nasib rakyatnya? Bunda
memandang anaknya yang tampak bergeming. Entah apa yang ada di pikiran anaknya.
Namun ia juga tidak tega jika melihat anaknya dibayang-bayangi oleh ketakutan.
“Bagaimana kalau raja memiliki alasan. Ia tidak ingin mati terbunuh
seperti ayahnya?” Abyaz masih mencoba membela dirinya. Meski hati nuraninya
ingin menyelamatkan nasib rakyatnya. Namun ketakutan masih mengalahkan hati
nuraninya. Reyna kembali menggelang.
“Berarti raja itu pengecut. Ia memiliki kekuasaan tapi memilih lari dari
tanggung jawab untuk menyelamatkan dirinya sendiri sementara nasib ribuan orang
menderita. Raja itu sangat pengecut Abyaz. Aku tidak tahu ada raja sepengecut
itu.” Abyaz mengepalkan tangannya. Ia meninju kursi kemudi dengan keras.
“Pak kembali ke istana!” perintahnya pada sopir. Ia bukan pengecut. Ia
bukan pengecut. Kanjeng Gusti Ratu menitikkan air matanya. Ia merasa keajaiban
benar-benar dibawa oleh gadis ini. Berkali-kali ia mencium pipi gadis yang
tampak tidak mengerti mengapa Abyaz meminta sopir kembali ke istana? Mengapa
bunda ikut menangis? Reyna mencoba menerka-nerka apa yang terjadi. Dan pikiran
gila menghampirinya? Tidak mungkin! Tidak mungkin Abyaz adalah raja itu.
Reyna menggelengkan kepalanya. Menepis pikiran konyol yang mampir dalam
benaknya. Tiba-tiba bayangannya tertuju pada ingatan saat Abyaz tiba-tiba
bertanya tentang keraton, lalu melompat ke ingatan pada saat ia hendak masuk ke
ruangan yang berisi foto para raja, juga saat Abyaz merasa kaget saat
mengetahui ia mencari tahu tentang keraton kesunanan di internet. Mungkinkah
Abyaz? Reyna menoleh pada Abyaz yang berada di samping kanan bunda. Abyaz
tampak gelisah? Mungkinkah Abyaz?
“Reyna tolong hubungi polisi.” Perintah Abyaz sebelum keluar dari mobil.
“Bunda?” tanya Reyna. Namun bunda hanya tersenyum sambil mengangguk.
Sesekali bunda mengusap sudut matanya yang tampak berair. Ia mengajak Reyna
mengikuti Abyaz yang sudah terlebih dahulu memasuki ruangan yang tadi mereka
tinggalkan.
Abyaz menggebrak ruangan Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan keras. Ia
melihat beberapa Pepatih Dalem yang
tampak kaget dengan kedatangannya. Di ruangan tersebut ia melihat beberapa
botol minuman. Tampaknya mereka sedang berpesta merayakan kemundurannya. Ia
mendengus dengan keras.
“Apa ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada?” Abyaz mengangkat
botol minuman itu dan membantingnya dengan keras, “kalian habiskan uang rakyat
untuk hal tidak berguna semacam ini?”
“Lalu apa yang akan kau lakukan bocah ingusan? Kemana saja kau selama
ini?” Raden Adipati Buntoro tidak lagi menyembunyikan wajah palsunya. Ia juga
tidak tahan harus bersikap hormat apalagi hanya pada seorang anak kecil. Abyaz
kembali mendengus.
“Akhirnya kau keluarkan wajah aslimu Buntoro. Aku tidak heran dengan
tingkah laku kalian. Ayahku yang seorang raja saja berani kalian bunuh, apalagi
hanya aku yang seorang anak kecil! Tapi sebelum itu terjadi sebagai Sunan Praja
Diwono XII aku memberhentikan kalian secara tidak hormat!” Hening. Semua Pepatih Dalem yang berada di ruangan
tersebut tertawa.
“Bukankah kau sudah menurunkan jabatannya padaku? Itu berati kau bukan
seorang Sunan lagi!” Buntoro tertawa, “anak kecil memang labil, lebih baik kau
pergi saja dengan kekasihmu itu!” Buntoro menunjuk Reyna yang tengah berdiri
bersama Sri Handayani.
“Penurunan jabatan itu tidak sah. Belum ada wisuda untuk mensahkannya. Lagi
pula tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Tidak kusangka kalian ternyata
lebih hina dari binatang kalian membunuh suamiku dan membunuh mental anakku
sehingga dia takut menjadi raja karena sikap arogan kalian!” Kembali mereka
tertawa.
Buntoro memberikan kode pada teman-temannya untuk menangkap Abyaz dan
kedua wanita itu. ketika Abyaz dan kedua
wanita kesayangannya diringkus paksa mereka bertiga sama sekali tidak berontak. Setenang
mungkin mereka bertiga mengangguk. Polisi akan segera datang dan menangkap
manusia tak beradab itu.
“Memang benar aku telah membunuh suamimu.” Buntoro memandang Sri
Handayani dengan pandangan cemooh, “dan sebentar lagi aku akan membunuh kau dan
anakmu yang bodoh itu, juga...”
Bustoro memandang Reyna dengan teliti, “tidak. Aku tidak akan membunuhmu
manis, aku akan menjadikanmu sebagai salahsatu selirku” Buntoro mengusap
wajahnya setelah Reyna meludahinya. Reyna memandang pria tua itu dengan jijik.
“Jangan harap!” sinisnya.
“Ternyata kau liar juga ya gadis kecil. Tapi tidak apa-apa aku
menyukainya. Tetap tenang dan saksikan kematian mantan kekasihmu tersayang
itu.”
Abyaz mengangguk pada Reyna dan bundanya. Sebentar lagi polisi akan
datang, ia membiarkan mereka menyiksanya terlebih dahulu. Darah yang mengalir
dari sudut bibirnya tidak menjadikannya gentar. Kemenangan akan segera tiba,
pikir Abyaz. Ini adalah balasan yang setimpal untuk penderitaan rakyatnya
selama bertaun-taun. Kanjeng Gusti Ratu dan Reyna tidak bisa menghentikan
tangisnya melihat penyiksaan yang dilakukan manusia bengis itu pada Abyaz.
Mereka berdoa semoga polisi segera tiba.
“Jangan bergerak!” doa mereka terkabul. Polisi datang tepat waktu. Pepatih-pepatih Dalem itu kelabakan.
Mereka mengangkat tangannya. Dengan sigap polisi meringkus para penjahat itu.
Mereka berteriak tidak bersalah. Reyna dengan cepat memberikan bukti rekaman
percakapan mereka barusan. Gadis yang pandai pikir Sri Handayani. Sri Handayani
kemudian menemani polisi untuk menjadi saksi.
Reyna menangis melihat wajah Abyaz yang terlihat tidak berbentuk. Ia mengusap
darah yang mengalir di wajah kekasihnya menggunakan scraft yang tersampir di lehernya.
“Rey..” lirih Abyaz.
“Ssst” Reyna menempelkan jarinya di bibir Abyaz. Abyaz menggeleng ingin
tetap berbicara.
“Maaf ya aku jadi tidak seksi lagi,” Abyaz terkekeh lirih, “maafkan aku
juga karena aku bukan raja yang baik. Kamu pasti ilfeel ya sama aku? Rey, jangan tinggalkan aku. Aku memang raja
yang penegcut, tapi kumohon jangan tinggalkan aku.” Abyaz memegang tangan
Reyna. Reyna menggeleng ikut meneteskan air matanya. Reyna mendekatkan bibirnya
ke telinga Abyaz.
“Di mata aku, kamu adalah raja yang paling keren.” Bisik Reyna kemudian
ia mengangguk dan tersenyum ke arah Abyaz. Abyaz mencoba tersenyum meski
diakhiri dengan meringis. Ia bersyukur memiliki seorang Reyna. Setelah ini ia
akan menjadi raja yang bertanggungjawab dan juga bijaksana. Abyaz tersenyum
pada bundanya yang baru saja memasuki ruangan sambil menangis haru.
“Bunda.”
“Selamat sayang. Kamu sudah menang. Ini hal yang luar biasa bagi bunda.
Kamu benar-benar anak Abhimata.” Bunda memeluk Abyaz dengan gembira. Kemudian
ia menoleh ke arah Reyna.
“Sayang kamu adalah mutiara terbaik dalam hidup kami.” Sri Handayani
mengelus pipi Reyna. Reyna hanya tersenyum. Ia tidak menyangka kalau selama ini
berhubungan langsung dengan seorang raja. Bagaimana tanggapan orang tuanya mengetahui
ternyata dirinya berhubungan dengan seorang bangsawan. Ah memikirkannya saja
membuat Reyna malu.
“Bunda. Biar aku benar-benar menjadi anak Abhimata, bolehkan aku
menjadikan Reyna sebagai satu-satunya permaisuri dalam hidupku.”
Kedua wanita itu saling bertatapan kemudian secara bersama-sama memukul
lengan lelaki muda itu, melupakan luka-luka yang ada dalam diri sunan yang baru
menemukan jati dirinya sebagai seorang raja. Abyaz menatap Reyna penuh syukur.
Seperti kata bundanya, Reyna adalah mutiara bagi mereka, khususnya untuk
keraton kesunanan ini. Terimasih my pearl.
I’m a lucky guy ever in the world.
Setahun kemudian setelah Sunan Praja Diwono XII menamatkan sekolahnya,
mereka merayakan upacara Tinggalan Dalem
Jumenengan untuk memperingati kenaikan tahta raja sekaligus upacara
pernikahan Sunan dengan Kanjeng Gusti Ratu Reyna.
“I love you my pearl.”
“I love you more, my king.”