Rabu, 08 Mei 2019

Perbaiki Niat Menulis

Untuk sampai tahap ada yang menantikan tulisanku (meski hanya 1 orang) itu perlu waktu bertahun-tahun. Mulai hanya dari nulis di buku biasa dan minta temen baca (ini waktu SMP), menulis di catatan Facebook (SMA), dan ikut kelas-kelas menulis, baik fiksi maupun nonfiksi.Ikut-ikut kelas dari yang biasanya jadi anggota dengan usia paling bontot sekarang udah dipanggil kakak. Nulis diblog sendiri meski viewnya sedikit. Ikut-ikut kompetensi biar tahu kekurangan. MashaAllah nikmatnya proses. Nulis nggak ada yang baca, nyerah? Tidak. Tulisan nggak dikenal bahkan nggak dilirik orang, biasa aja.

Tujuan menulisku hanya satu, membahagiakan diri sendiri. Ya, terlihat naif memang. Aku nulis bukan untuk cari uang, bukan untuk menjadi popolar. Tidak. Hanya menulis untuk menyalurkan hobi aku yang gila baca. Dan memang benar, setiap kita itu memiliki zona waktunya sendiri. Mungkin dulu aku biasa nulis sendiri, belum punya circle sesama penulis. Nulis di IDNtimes dan Ucnews adalah reward terbesar pada waktu itu.

Tapi setelah ketemu temen2 DS, makin tahu dunia penulis itu seperti apa. Makin sadar pentingnya komunitas. Dan Alhmadulillah di ramadan ini temen menulisku bertambah. MasyaAllah. Dan tiba-tiba aja banyak yg nanya tips menulis. Padahal aku nggak pake tips apa-apa, selain menulis. Ya, menulis saja sampai kamu menemukan tulisanmu sendiri. Tulis saja apa yang kamu pikirkan, apa yang ada diotakmu. Menulis nggak perlu bakat hanya perlu ketelatenan. Sesimpel itu. Dan jangan buru-buru ingin terkenal saat baru mulai nulis. Kenapa? Cape, nggak akan terkejar. J.K Rowling dan Christy Agata ditolak ribuan kali untuk mendapatkan karya yang bisa mendunia. Jadi, perbaiki niat menulisnya, ya.

 #Day3
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

Minggu, 05 Mei 2019

Jangan Jadi Netizen Nyebelin



Pernah dengar istilah, maha benar netizen dengan segala ocehannya? Yap, netizen itu kalau sudah berkomentar terkadang suka merasa paling benar aja udah. Apa-apa harus mengikuti sudut pandangnya. Kalau kata dia nggak bagus, ya nggak bagus. Kalau kata dia harus begitu, ya harus begitu. Dan kalau komentarnya nggak diikuti, mencak-mencak, hina-hina, dan keluar sumpah serapah. Astagfirullah. Nah, seringnya yang menjadi korban kekejian jari-jari netizen adalah para artis. Makanya, kita jadi sering mendapatkan berita tentang kasus pelaporan artis-artis terhadap komentar yang dianggap melecehkan, menjelekkan, menyakitkan, dan me-an me-an lain yang bikin mata dan hati menjerit.

Sosial media zaman sekarang memang memudahkan setiap orang untuk saling berinteraksi jarak jauh, bahkan dengan orang yang tidak saling mengenal sekali pun. Ada yang bahkan tidak pernah bertatapan muka secara langsung, tapi sudah merasa seperti keluarga. Interaksi semacam ini adalah dampak positif dari media sosial. Akan tetapi, ada juga yang memiliki hubungan berasal dari darah yang sama karena kicauan di media sosial tak ubahnya seperti musuh yang siap mengibarkan bendera perang dunia ke tiga. Hmm. Media sosial memang selucu ini.

Kita, sebagai makhluk yang tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan zaman, tentunya harus aktif-reakif dengan fenomena ini. Jangan sampai kita menjadi netizen nyebelin. Ada berita anu yang tidak sejalan dengan pikiran kita, langsung dikomentarin seenae dewek. No, tidak seperti itu. Lebih bagusnya kita tabayyun dulu, jangan telan mentah-mentah berita yang belum tentu kebenarannya. Masih ingat kasus Audrey dan Ratna Sarumpaet? (ini bukan kampanye, sumpah saya bukan cebong wkwk, hanya berdasarkan data dan fakta saja hehe) Seringnya karena hanya mengandalkan katanya-katanya, kita jadi salah langkah. Akhirnya netizen Indonesia berhasil dibodohi. 

Terus kadang netizen yang biasa julid itu kalau dikomentarin, tanggapannya adalah,

"Terserah kita, dong. Akun-akun kita, jari-jari kita yang mengetik."

Yah, untuk orang-orang seperti ini kita doakan saja semoga mendapat hidayah. Hidayah itu mahal, dan harus kita jemput. Eh? Intinya, jangan jadi netizen nyebelin. Jari-jari kita nanti juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Selain pertanggungjawaban di akhirat, bagaimana kalau ada yang tersinggung dan sakit hati karena jari kita, bukankah itu termasuk mendzhalimi? Bukankah doa orang terdzalimi mudah dikabulkan? Jadi, double rugi, dong. Rugi di dunia dan rugi di akhirat. Naudzubillah. Semoga aku, kamu, dan kita semua tidak jadi netizen yang menyebalkan, ya. Amin!

#Day1
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

Minggu, 07 Januari 2018

You’re The Pearl of My Kingdom



Di sebuah Keraton Kesunanan Jawa yang masih berdiri sampai saat ini terjadi sebuah peristiwa yang teramat langka. Sepanjang sejarah selama berabad-abad lamanya sebuah kejadian memilukan menimpa keluarga raja, yaitu peristiwa meninggalnya Sampeyan Dalem Sinuhun Kanjeng Susuhunan  Praja Diwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping XI[1] secara mendadak. Sang raja atau biasa disebut Susuhunan meninggal dalam perjalanan kunjungan menuju kawasan wisata yang baru akan diresmikan.

Peristiwa meninggalnya raja ini membawa dampak yang serius bagi kesunanan, pasalnya sang raja meninggal di usia yang masih sangat muda. Susuhunan Praja Diwono XI meninggal pada usia 37 tahun, dengan hanya meninggalkan seorang putra yang usianya baru menginjak  7 tahun. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah sang raja tidak memiliki satu orang selir pun. Ia hanya memiliki seorang permaisuri yaitu Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani yang saat ini tampak tengah terguncang akibat tragedi yang baru saja dialami oleh suaminya.
Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani menatap dan mengusap wajah Abhimata yang tampak pucat. Air matanya tak sanggup ia bendung. Lelaki yang amat dicintainya ini pergi meninggalkannya dengan cepat. Meninggalkan rakyatnya, meninggalkan kewajibannya, meninggalkan dirinya, juga meninggalkan putra mahkota mereka. Sambil terisak, Kanjeng Gusti Ratu berujar,
“Njenengan kenapa pergi sekarang, Kang Mas? Kenapa njenengan ninggalin Abyaz yang masih kecil? Siapa yang akan mengajari Abyaz mengelola kerajaan kalau bukan njenengan?” jari-jemarinya menelusuri pipi dingin sang suami. Pipi yang biasanya selalu memancarkan kehangatan. Kehangatan yang menurut pikirannya tidak dimiliki oleh sunan-sunan sebelumnya. Kehangatan karena kebaikan hatinya. Kehangatan karena rasa cinta yang dimilikinya.
Bagi Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani tidak ada sunan yang sebaik Abhimata. Abhimata berbeda dengan sunan-sunan sebelumnya. Dia tidak gila kekuasaan, bertindak secara wajar sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Sebagai seorang raja, Abhimata pun tidak memanfaatkan posisinya untuk mencari selir sebanyak-banyaknya. Ia adalah lelaki setia. Bagi Abhimata memiliki seorang Handayani seorang pun cukup menenangkan hatinya. Ia tak perlu perempuan lain. Terlebih ia tak ingin menyakiti hati permaisurinya. Ia jatuh cinta hanya pada istrinya. Istrinya seorang, yang telah memberinya anugerah luar biasa, seorang pangeran tampan yang ia beri nama Abyaz Wicaksana. Pangeran yang ia harapkan kelak akan menjadi raja yang bijaksana.
Kanjeng Gusti Ratu memandang putranya dengan pilu. Sang Pangeran tidak meneteskan air mata barang setetes pun. Ia hanya memandang wajah ayahnya dengan air muka polos khas anak-anak. Jemari Kanjeng Gusti Ratu berpindah mengusap kepala sang pangeran. Perasaannya menjadi was-was. Menurut aturan yang berlaku bahwa kekuasaan raja akan berpindah langsung pada keturunannya. Itu artinya apakah Abyaz akan langsung menggantikan posisi ayahnya? Kanjeng Gusti Ratu menggelengkan kepalanya. Ia tidak setega itu membiarkan anak kecil memegang tugas kerajaan yang begitu berat. Kemudian ia membawa pangeran ke dalam pelukannya.
***
Prosesi pemakaman Susuhunan berlangsung dengan khidmat. Saat itu juga Kanjeng Raden Adipati Buntoro, sebagai Pepatih Dalem[2] mengumumkan bahwa tampuk kekuasaan otomatis jatuh pada Gusti Raden Mas Abyaz Wicaksana sebagai putra satu-satunya sang raja. Kanjeng Raden Adipati Buntoro menanyakan siapa yang akan menjadi walinya sampai ia cukup umur.
“Saya rasa Abyaz memang masih perlu belajar, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Raden Adipati Buntoro sebagai Perdana Menteri menggantikan terlebih dahulu posisi Sunan, hingga Abyaz Dewasa.”
Kanjeng Raden Adipati Buntoro tersenyum tipis. Dalam hati ia bersorak senang. Setidaknya impiannya untuk menjadi penguasa di Keraton Kesunanan Jawa ini dapat terlaksana. Setidaknya sampai Gusti Raden Mas Abyaz cukup umur. Selama itu pula ia akan memanfaatkan posisinya untuk mengatur kerajaan yang sudah 23 tahun dikelolanya, sehingga seluk-beluk dan baik-buruknya kerajaan sudah ia hafal betul.
“Kalau itu kehendak Kanjeng Gusti Ratu, saya tidak dapat menolaknya. Sampai Gusti Raden Mas maksud saya Sunan Praja Diwono XII dewasa saya akan menggantikan posisinya.”
Kanjeng Gusti Ratu mengangguk. Kemudian setelah prosesi pemakaman selesai ia kembali ke istana kerajaan dan menyerahkan Abyaz pada Abdi Dalem[3] yang bertugas sebagai baby sitter. Kepalanya terasa berat. Merebahkan tubuhnya di ranjang, Kanjeng Gusti Ratu tak kuasa menahan air mata yang lolos dari sudut matanya. Hingga kemarin bahkan ia masih bisa tertawa dengan suami dan anaknya. Waktu berlalu begitu cepat. Kehendak Yang Kuasa tidak ada yang mengetahuinya. Matanya terpejam. Hanya dengan menutup mata ia dapat melihat wajah rupawan sang suami.
Kesadarannya hampir tenggelam ke alam mimpi ketika terdengar suara langkah kaki berat yang memasuki kamarnya. Matanya terbuka, ia mendudukkan diri dan melihat Kanjeng Panembahan  Dierja yang tidak lain adalah ayahnya memasuki ruangan. Wajah ayahnya terlihat cemas. Mengkhawatirkan kondisi anak, cucu, dan juga kerajaan ini sepenginggal sang menantu.
“Apa keadaanmu baik-baik saja Gusti Ratu?”
“Tentu Romo tahu, keadaanku tidak baik. Aku begitu terpukul kehilangan suamiku. Semua ini terjadi begitu cepat.” lirih Kanjeng Gusti Ratu.
“Romo mengerti. Hanya saja kesedihanmu jangan berlarut-larut. Ingat sekarang anakmu sudah menjadi Sunan Praja Diwono XII. Kaulah yang bertugas mendampingi dia. Usianya yang masih sangat belia rentan terhadap kecurangan pihak-pihak yang iri hati.” Wajah Kanjeng Panembahan Dierja tampak serius. Begitu pun Kanjeng Gusti Ratu ia tampak murung.
“Itu yang aku khawatirkan, Romo. Oleh karena itu, aku menyerahkan kekuasaan sementara pada Kanjeng Raden Adipati Buntoro.”
“Itu bukan solusi,” Kanjeng Gusti Ratu memandang wajah ayahnya tidak mengerti, “justru hal inilah yang membuatku khawatir. Sunan Praja Diwono XI belum sempat mewariskan ilmunya pada Gusti Raden Mas Abyaz, romo khawatir ia hanya akan jadi Sunan boneka suatu saat nanti.”
Mendengar pernyataan ayahnya, kekhawatiran yang dirasakan Kanjeng Gusti Ratu semakin bertambah. Benar juga. Siapa yang menjamin kalau mereka-para Pepatih Dalem- tidak akan tergiur dengan kekuasaan. Apalagi umur Abyaz masih sangat jauh untuk dapat memimpin keraton secara benar. Dalam waktu selama itu tidak ada yang tidak mungkin jika ketamakan akan kekuasaan menguasai pikiran Kanjeng Raden Adipati atau para Pepetih Dalem yang lain.
“Apa yang harus aku lakukan Romo?” tanyanya.
“Pergilah dari kota ini, Nak. Bawalah anakmu. Berikan pendidikan yang layak di luar sana. Dengan begitu ia akan menjadi anak yang pandai, cerdas, dan tak mudah dibodohi.”
“Apakah itu berarti kami harus meninggalkan istana, Romo?”
Kanjeng Panembahan Dierja mengangguk. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kerajaan ini. Berdasarkan pengamatannya binar mata yang diperlihatkan Pepatih-Pepatih Dalem itu menyiratkan ketamakan akan kekuasaan. Ia sudah hidup terlalu lama di dunia ini. Tidak sulit baginya untuk melihat mana yang tulus mana yang tidak.
Sementara itu, tanpa mereka sadari seorang pria yang baru saja didaulat menggantikan posisi Sunan Praja Diwono XII, yang tidak lain adalah Kanjeng Raden Adipati Buntoro mendengar percakapan mereka. Air mukanya berubah keras, jari-jemari tangannya mengepal. Hatinya pun terbakar. Ternyata orang tua itu tidak mempercainya. Tapi, apa yang diungkapkan Kanjeng Panembahan itu memang benar. Ia mengakuinya. Ia sangat ingin menguasai kesunanan ini. Sudah 23 tahun ia mengabdi. Ia tidak rela harus dipimpin oleh anak ingusan yang bahkan baru lahir kemarin sore. Ini adalah kesempatannya. Untuk itu, ia harus memikirkan strategi apa yang harus dilakukan untuk menyingkirkan bocah kecil itu.
***
Kanjeng Raden Adipati Buntoro memasang ekspresi kaget mendengar ungkapan Kanjeng Gusti Ratu yang mengatakan akan pergi ke luar kota untuk menenangkan diri dari kesedihan. Namun, hatinya bersorak dengan gembira. Ternyata untuk menyingkirkan mereka dari istana ini tidak sulit. Ia hanya perlu membuat mereka betah di luar istana. Apalagi Abyaz masih sangat kecil, ia akan mudah terkontaminasi dengan dunia luar. Jadi, ia akan berusaha mengalihkan perhatian anak itu pada dunia di luar istana.
“Kalau boleh tahu, Kanjeng Gusti Ratu hendak pergi kemana? Lalu jika Kanjeng Ratu dan Sunan Praja Diwono XII juga pergi, bagaimana Sunan akan mempelajari tugas dan kewajibannya Gusti Ratu?” Raden Adipati Buntoro berbasa-basi.
“Tenang saja Raden Adipati, saya akan membawa Sunan setahun sekali ke sini. Untuk tempat saya mempercayakannya pada Kanjeng Panembahan Dierja.” Kanjeng Gusti Ratu kemudian memandang ayahnya yang menganggukan kepala padanya.
“Sebagai Perdana Menteri yang nasihatnya didengarkan oleh Sunan Praja Diwono XI, bolehkan saya memberikan sedikit saran untuk tempat tinggal Gusti Ratu?” mendengar nama suaminya disebut, mau tidak mau Kanjeng Gusti Ratu menanggapi pertanyaan Kanjeng Raden Adipati Buntoro.
“Dimanakah itu, Raden Adipati?”
“Ibu kota Indonesia, Gusti Ratu. Saya rasa Sunan Praja Diwono XII perlu lebih dekat dengan istana merdeka. Kelak ia akan menjadi sunan yang mengabdikan diri untuk kesunanan kita tercinta.”
***
Sepuluh tahun sudah Kanjeng Gusti Ratu Sri Handayani dan Sunan Praja Diwono XII tinggal di tengah hiruk pikuk ibu kota. Ya. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di Jakarta sesuai dengan nasihat Perdana Menteri. Ia khawatir mereka akan curiga jika ia menolaknya, sehingga meski penuh kekhawatiran dengan konsekuensi tinggal di ibu kota Kanjeng Gusti Ratu menerimanya. Usia Sunan sudah memasuki 17 tahun, artinya tinggal satu tahun lagi mereka kembali ke Istana Kesunanan.
Abyaz tumbuh menjadi remaja yang tampan dan juga cerdas. Ia selalu membanggakannya dengan semua prestasi-prestasi yang diperolehnya. Tak pernah anaknya itu mengecewakan dirinya barang sekali pun. Hanya saja akhir-akhir ini ia heran, anaknya ini sering sekali pulang malam. Ketika ditanya pun respon yang diberikan hanya sekadarnya. Anak itu menjadi dingin dan jarang sekali bercerita seperti biasanya.
“Sunan, tahun ini Bunda minta kamu bersedia ya, Nak, mengunjungi istana.” Pinta Sri Handayani saat mereka sedang sarapan. Ya. Sudah tiga tahun mereka tidak mengunjungi istana kesunanan karena penolakan Abyaz. Alasannya karena Abyaz merasa kunjungan itu tidak memberikan dampak apa-apa. Lagi pula kedatangannya pun tidak diharapkan di sana. Ia sudah tahu bahwa mereka orang-orang istana tidak menghendakinya menjadi Sunan.
“Sudah kubilang Bunda, jangan memanggilku dengan embel-embel Sunan. Ini bukan istana. Panggil aku Abyaz saja. Aku ingin terlihat normal seperti anak-anak lainnya.”
Sri Handayani mengangguk sambil tersenyum. Meski hatinya merasa sedih dengan ucapan anaknya. Ia hanya ingin anaknya itu tidak melupakan jati dirinya sebagai raja. Penolakan memanggil nama Sunan sudah terjadi sejak tiga tahun belakangan. Semenjak anaknya memutuskan untuk tidak mengunjungi istana sampai batas waktu yang ditentukan.
“Oh iya, mengenai kunjungan. Aku rasa aku belum bisa bunda.” Abyaz menjawab singkat tanpa memberikan alasannya.
“Usiamu sudah 17 tahun, Nak. Tahun depan kamu sudah harus menjalankan kewajibanmu sebagai raja. Kamu tidak boleh melupakan tugas dan kewajibanmu di istana,” Sri Handayani sebisa mungkin mengatakannya dengan halus, “ingat kamu memiliki rakyat yang menunggu kedatanganmu di sana.”
Abyaz memejamkan matanya. Tangannya mengepal. Ia paling tidak suka membahas masalah ini. Baginya persoalan ini begitu berat. Ia ingin menjadi anak yang normal, sama seperti teman-temannya.
“Abyaz, berangkat sekolah dulu, Bunda.” Katanya lalu mencium tangan bundanya tanpa merespon pernyataan mengenai kerajaan. Ibunya hanya mengangguk dan tanpa sepengetahuan Abyaz air matanya menetes.
Abyaz melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi. Meski ia tak mau memikirkan persoalan di kerajaan. Tapi pikirannya terus saja dipenuhi segala seluk beluk kerajaan. Kenapa ia harus dilahirkan dalam keluarga bangsawan? Kenapa ia tidak bisa menjadi seperti anak-anak yang lainnya? Mereka terlihat bahagia tanpa beban berat seperti yang dipikulnya. Mereka tertawa, bermain, dan memiliki mimpi yang tinggi untuk mengejar cita-cita. Ia pun memiliki cita-cita. Ia ingin menjadi seorang arsitek dan pergi kuliah ke luar negeri. Nyatanya setelah lulus ia harus kembali ke istana dan berhadapan dengan orang-orang yang membenci dirinya.
Abyaz menyadari bahwa para Pepatih Dalem itu tidak menyukainya. Terlebih perdana menteri. Ia masih ingat kunjungan terakhirnya ke Istana yang membuatnya memutuskan tak ingin berkunjung lagi ke sana. Ketika itu, di usia yang baru memasuki 14 tahun rasa ingin tahu yang tinggi mengenai istana membuatnya antusias. Ia berkeliling istana dan berniat menceritakan keindahan istananya pada teman-teman sekolahnya. Namun, tanpa sengaja ia mendengar percakapan Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan para Pepatih Dalem istana.
“Kalau anak itu masih sering berkunjung, tidak akan menutup kemungkinan posisi kita akan tergeser. Hal ini akan membuat usaha kita sia-sia saja.”  ujar Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan sinis.
“Bagaimana kalau kita lakukan cara yang sama untuk menyingkirkan anak itu seperti kita menyingkirkan ayahnya.”
Bagai mendengar petir di siang bolong, Abyaz menutup mulutnya. Apa yang baru saja mereka katakan? Apakah itu artinya ayahnya meninggal bukan karena penyakit jantung seperti yang mereka katakan? Jadi, ayahnya meninggal karena direncanakan? Dan mereka berencana untuk membunuhnya juga? Abyaz berlari dan mencari-cari ibunya. Seketika itu juga ia langsung mengajak ibunya pulang ke Jakarta. Ia tidak ingin mati terbunuh dan memutuskan tidak ingin kembali ke istana. Abyaz tidak pernah menceritakan ini pada ibunya. Cukup ia saja yang tahu bagaimana bobroknya orang-orang di istana.
“Woy! Ngelamun aja, lo!” seseorang menepuk pundaknya, “diputusin Reyna, ya?” Abyaz menatap kesal pada teman petakilannya yang kini tengah duduk di depannya sambil cengengesan.
“Enak aja, lo! Reyna nggak mungkinlah mutusin gue, dia kan cinta mati sama gue!” Abyaz menaikan alisnya dengan bangga, “di dunia ini mana ada sih cewek yang berani meninggalkan gue. Jadi yang kedua aja mereka berani.” Abyaz terkekeh melihat temannya mendengus kesal.
“Oh, jadi gitu, ya?” suara lembut seorang gadis perempuan membuat Abyaz langsung salah tingkah, “kalau kamu punya yang kedua, yang pertamanya bukan aku dong ya karena aku ngga sudi diduain.” Gadis itu menatap tajam pada lelaki yang kini terkekeh tanpa dosa.
“Mampus, Lo!”
“Ngga kok, Rey. Aku bercanda doang sama Devan. Ya kan Dev?”
“Au” Devan mengendikkan bahunya, “gue nggak ikutan ya. Bye!” dengan kurang ajarnya Devan pergi meninggalkan mereka berdua ke luar kelas.
“Beneran deh, Rey. Aku Cuma bercanda doang. Lagian Devan kurang ajar banget bilang kamu mutusin aku. Padahal kita kan tidak akan terpisahkan, iya kan?” Abyaz mencoba memamerkan senyum termanisnya. Sayangnya Reyna malah menatap wajah Abyaz dengan air muka yang serius. Ia duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Devan.
“Beneran deh aku nanya sama kamu, kamu kenapa sih jadi sering ngelamun?”
“Aku cuman bercanda doang sama Devan, Sa.. Eh apa? Melamun?” Abyaz tampak bingung menjawab pertanyaan Reyna. Ia tidak tahu kalau persoalan istana membuatnya menjadi seseorang yang pemurung.
“Kamu juga jadi sering pulang larut malam, kan? Bunda sering nanyain kamu ke aku. Sebenarnya kamu kemana aja? Kamu kenapa?”
Abyaz menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjawab apa. Reyna belum tahu kalau ia adalah seorang bangsawan. Dan ia juga tidak ingin Reyna mengetahuinya. Bagaimana reaksinya kalau sampai Reyna tahu ia adalah seorang raja. Dan lagi ia tidak pulang karena tidak sanggup menghadapi bundanya yang terlihat bersedih dan sangat berharap ia segera kembali ke istana. Ia tidak memiliki alasan yang tepat untuk menolak bahwa ia tidak ingin kembali ke kerajaan.
“Kamu harus cerita sama aku. Kamu nggak percaya sama aku? Atau jangan-jangan kamu melakukan hal yang iya-iya ya di luar sana?” Reyna memelototkan matanya yang justru malah membuat Abyaz tertawa. Lucu sekali gadisku ini pikirnya.
“Yang iya-iya gimana maksudnya?” Abyaz kembali tertawa membuat Reyna mengerucutkan bibirnya, “ggak apa-apa Rey. Aku hanya sedang takut memikirkan masa depanku saja.” Jawab Abyaz. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Pada kenyataannya masa depanlah yang memang ia khawatirkan. Mendengar jawaban Abyaz yang terlihat jujur membuat reyna menghembuskan napasnya.
“Apa sih yang kamu takutkan? Kamu itu udah hebat dalam segalanya. Kamu ingin jadi arsitek kan? Kamu udah sangat berbakat dalam gambar menggambar, akademik kamu yang lain juga bagus. Jadi kamu nggak perlu membuat bunda khawatir!”
Abyaz menatap Reyna sambil tersenyum. Kemudian ia mengangguk. Masalahnya bukan itu yang ia khawatirkan, Rey. Ia mengkhawatirkan posisinya sebagai raja. Ia tidak ingin kembali ke istana. Ia tidak ingin mati konyol karena ketamakan penguasa-penguasa istana. Telebih ia juga tidak ingin berpisah dengan gadis yang ada di depannya ini. Reyna. Gadis cerdas yang manis.
“Rey,” panggilnya. Reyna mengangkat alisnya, “bagaimana tanggapan kamu terhadap keraton-keraton yang masih berdiri di Indonesia hingga sekarang?” Abyaz sepertinya ingin tahu bagaimana tanggapan orang-orang biasa seperti Reyna terhadap keluarga bangsawan.
“Maksud kamu seperti Keraton Ngayogyakarta begitu?”  Abyaz mengangguk, “menurutku sih ya bagus juga di zaman yang modern ini, kita bisa mempertahankan kerajaan-kerajaan yang dulu berjaya di Indonesia. Mereka itu cagar budaya yang tetap harus lestari, Abyaz. Kalau mereka tidak ada mungkin kita akan kehilangan bukti otentik dan hanya tahu dari buku-buku sejarah.”
“Kalau kamu bertemu salahsatu dari mereka apa yang akan kamu lakukan?”
“Hmm. Apa ya?” Reyna mengetuk-ngetukan jarinya ke meja, “mereka juga sama seperti kita kan? Hanya saja karena status mereka bangsawan saja yang membedakannya. Ya aku nggak akan gimana-gimana sih. Aku nggak akan heboh cuman sedikit penasaran aja bagaimana kehidupan para bangsawan itu.” Abyaz menganggukkan kepalanya.
“Ah bete deh!” teriak Reyna setelah panjang lebar menjawab pertanyaan Abyaz.
“Kok bete?” Abyaz menaikkan alisnya.
“Kamu kan tahu aku suka sejarah. Ah kamu bikin aku pengen pergi ke keraton-keraton deh. Tanggung jawab ah! Ngga tahu bete!” Reyna menyilangkan kedua tangannya membuat Abyaz mau tidak mau tertawa. Jika itu memang maumu aku akan membawamu ke istanaku pikir Abyaz.
***
Abyaz merenungkan jawaban-jawaban yang diberikan Reyna mengenai keraton. Pikirannya masih bimbang. Apa yang harus ia lakukan dengan kerajaannya. Ia sungguh tidak ingin mati konyol hanya demi sebuah singgasana. Jika kekuasaan cukup membuat mereka yang kini berkuasa membuat dia dan bundanya tetap hidup ia rela menyerahkannya. Ia sungguh khawatir jika memaksakan diri memasuki istana, bukan hanya nyawanya saja tapi nyawa bundanya juga akan ikut terancam.
“Bunda,” Sri Handayani mengalihkan wajahnya dari benang rajut pada Abyaz yang menunjukkan air muka serius.
“Kenapa anakku?” tanyanya. Sri Handayani merasa senang. Akhirnya anaknya mulai berbicara lagi dengannya.
“Keraton hanya sebuah cagar budaya. Kenapa kita harus repot mengurus cagar budaya yang didanai oleh pemerintah?” tanyanya, “jadi sebenarnya apa fungsi raja di istana, Bunda?”
Sri Handayani menghembuskan napasnya. Ia merasa lega. Akhirnya putranya mau membicarakan urusan keraton. Hal ini penting mengingat keadaan keraton menurut informasi dari seorang Abdi Dalem tengah dilanda kekacauan. Jadi itu yang selama ini ada di pikiran anaknya. Tidak heran. Abyaz sudah lama tinggal di luar istana.
“Nak, pemerintah memang mendanai keraton agar keraton tetap lestari. Fungsi raja sangat penting di istana. Seorang raja yang bijak mutlak diperlukan agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan di istana. Jika raja bijak, rakyat pun akan sejahtera. Kita di sana diberi tanggungjawab untuk mengurus wilayah kesunanan, Nak.”
Abyaz menghembuskan napasnya. Tapi jika ia tidak diinginkan di kerajaan hal ini hanya akan membuat kerajaan menjadi kacau balau saja. Ia tidak tahu bagaimana perkembangan keraton sekarang. Sungguh semenjak mengetahui bahwa ayahnya dibunuh karena politik para Pepatih Dalem ia ingin melepaskan diri dari istana. Itulah yang membuatnya enggan kembali ke istana.
“Bunda jika aku tahun ini membawa Reyna ke keraton apakah bunda mengizinkannya?” Abyaz bertanya dengan ragu. Bunda mengetahui hubungannya dengan gadis itu. Meski tidak pernah mengatakan setuju tapi bunda juga tidak melarangnya. Mendengar pertanyaan putranya, air muka Sri Handayani berubah.
“Itu artinya kamu bersedia berkunjung ke istana, Nak?” Sri Handayani tersenyum, “tentu saja bunda mengizinkan, Nak, hanya saja kamu harus meminta izin pada orang tuanya terlebih dahulu ya.”
“Tapi bunda jangan memberitahukan identitasku padanya, ya, Bun?” Sri Handayani mengangguk. Kemudian ia bangkit dan memeluk putra semata wayangnya. Ia berharap kunjungannya ini dapat membuka pikiran Abyaz terhadap kerajaan.
***
“Benarkah, Bunda?” tanya Reyna antusias. Saat ini mereka tengah berada di kediaman Abyaz. Abyaz menjelaskan bahwa besok ia akan pergi berlibur ke Jawa dan mengajak Reyna sambil mengunjungi Keraton Kesunanan Jawa. Sri Handayani mengangguk sambil tersenyum.
“Jika kamu bersedia, bunda akan meminta izin pada orang tuamu.”
“Mau banget, Bunda. Orang tua Reyna kalau tahu bunda ikut ya pasti izinin, Bun. Asalkan jangan berduaan aja sama si itu tuh.” Reyna menunjuk Abyaz dengan dagunya.
“Kalau bukan karena aku, kamu juga nggak akan pergi kali.” Abyaz menjulurkan lidahnya.
“Aku cuman butuh bunda, nggak butuh kamu.” Reyna ikut memeletkan lidahnya. Kanjeng Gusti Ratu menggelengkan kepalanya. Ia senang anaknya bergaul dengan gadis cerdas seperti Reyna. Reyna bukan tipe gadis yang suka hura-hura. Juga bukan tipe gadis yang tidak tahu tata krama. Tidak membawa pengaruh  buruk bagi anaknya. Itu yang membuatnya mengizinkan Reyna masuk dalam kehidupan mereka. Gaya pacaran mereka juga tidak berlebihan seperti anak zaman sekarang. Mereka malah terlihat seperti berteman biasa.
Keesokan harinya mereka berangkat pagi-pagi sekali. Reyna tampak menikmati perjalanan mereka. Sepanjang jalan ia tidak memejamkan matanya barang sedikit pun. Kamera selalu berada dalam genggamannya. Ia tidak menyangka bisa pergi berlibur ke luar Jakarta. Selama ini orang tuanya selalu tidak memberinya izin pergi kemana-kemana. Bahkan studi tur yang diadakan sekolah saja mereka tak izinkan. Beruntung sekali ia bisa diizinkan pergi ke pulau Jawa. Itu semua karena bundanya Abyaz. Entah magnet apa yang diberikan Bunda dan Abyaz. Abyaz adalah lelaki pertama yang diizinkan orang tuanya memasukan kehidupan pribadinya. I’m so a lucky girl ever in the world pikirnya.
Ketika memasuki istana keraton, Reyna tidak bisa berhenti berdecak. Suasana keraton yang tradisonal benar-benar melekat di kesunanan ini. Benar-benar terasa seperti di kerajaan Mataram Kuno.
“Senang?” tanya Abyaz. Reyna mengangguk sambil terus memotret hal-hal yang menarik perhatiannya.
“Kupikir kamu akan mengajakku ke keraton Ngayogyakarta.”
“Jadi, kamu nggak suka aku ajak ke sini?” Abyaz bertanya seolah tersinggung.
“Jangan sensitifan gitu ah. Bukan gitu, kan yang terkenal itu. Aku justru seneng. Makasih ya sayang.” Reyna memamerkan gigi putihnya.
“Apa?” Abyaz tersenyum mendengar panggilan Reyna. Untuk pertama kalinya Reyna memanggilnya begitu. Ia melihat perubahan warna pada pipi sang gadis. Kenapa Reyna malah so malu-malu begitu?
“Makasih ya Abyaz. Aku seneng banget.”
“Tadi aku dengernya nggak gitu. Ucapin sekali lagi aja dong.” Goda Abyaz.
“Udah ah kamu jangan godain aku! Atau aku marah nih.”
“Jangan ngambek dong sayang!” Reyna mencubit pinggang Abyaz. Ia berlari menuju salahsatu ruangan yang berada di pojok istana. Abyaz yang baru menyadari ruangan apa itu buru-buru menarik Reyna.
“Ih apaan sih?” Reyna mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Abyaz, “aku kan ingin lihat raja-raja di sini dari masa ke masa!”
“Jangan ah sayang. Raja di sini jelek-jelek. Nanti kamu menyesal lagi liatnya.” Jawab Abyaz seadanya sambil terus membawa Reyna menjauh dari ruangan tersebut.
“Bohong! Bilang aja kamu cemburu karena mereka tampan-tampan iya kan? Apalagi aku barusan searching katanya raja yang sekarang masih muda dan seumuran kita.”
Abyaz membalikkan tubuhnya dan memelototkan matanya.
“Apa? Tadi kamu searching?” teriaknya panik. Reyna tertawa ternyata Abyaz memang cemburu pikirnya.
“Iya. Aku tahu namanya loh. Tapi panjang banget aku susah nyebutinnya. Sayangnya fotonya tidak ada di website mana pun.” Reyna memanyunkan bibirnya sedangkan Abyaz menghembuskan napasnya lega. Pasti nama yang dimaksud Reyna adalah gelarnya. Ia tertawa geli. Beruntung ia tak pernah mengizinkan media mengambil fotonya.
“Kok ketawa?” Reyna memperlihatkan wajah cemberutnya.
“Pokoknya kamu jangan pergi-pergi ke sana ya. Aku nggak suka. Aku cemburu. Kamu boleh pergi kemana pun. Asal jangan ke ruangan itu. Okay?” Reyna menganggukkan kepalanya. Lagian kalau Abyaz sudah bersikeras seperti itu ia bisa apa?
***
Kanjeng Raden Adipati Buntoro memperhatikan tingkah dua remaja itu. Bibirnya tersenyum tipis. Anak itu tengah dibutakan oleh cinta pikirnya. Ia sempat khawatir ketika mendengar kunjungan yang akan dilakukan oleh Sunan Praja Diwono XII itu. Padahal ia sudah sangat senang karena sudah tiga tahun mereka sama sekali tidak pernah ke istana. Ia merasa menang. Kekuasaan akan mutlak menjadi miliknya. Namun, ia tidak tahu motif apa sehingga kemarin ia mendengar bahwa raja akan mengunjungi istana.
“Sungguh pemandangan yang indah bukan?” ucap seorang Pepatih Dalem dengan penuh sarkas. Mereka berdua tertawa.
“Kekuasaan akan tetap menjadi milik kita.” jawabnya, “anak itu tengah dimabuk cinta. Kau lihat matanya? Seolah dunianya hanya milik gadis itu.” sekali lagi Kanjeng Raden Adipati Buntoro tersenyum tipis.
“Tentu. Hanya kau yang pantas menjadi raja.”
***
Sri Handayani tidak bisa menahan isaknya. Ia mengusap nisan suami dan ayahnya. Kedua orang yang selalu melindunginya telah tiada. Sejak Kanjeng Panembahan Dierja meninggal dua tahun lalu, pertahanannya terasa roboh apalagi semenjak Abyaz tidak lagi mau berkunjung ke istana. Harapannya terhadap kesejahteraan keraton seolah hampir pupus. Diusianya yang masih terbilang muda ia tampak lebih tua. Semoga kunjungannya kali ini membawa berkah. Entah kenapa ia percaya gadis itu akan membuka pikiran anaknya.
“Bunda.” Abyaz mengusap punggung ibunya, mencoba menenangkan wanita kuat yang selalu berdiri di belakangnya.
“Reyna?” tanya bundanya ketika ia tidak melihat keberadaan gadis itu.
“Dia sedang bercakap dengan salahsatu Abdi Dalem, Bun. Lagian aku tidak mungkin membawanya ke sini. Aku tahu Bunda pasti akan menangis.”  Abyaz memeluk dan terus mengusap-usap punggung ibunya.
“Pergi dan carilah Reyna. Ajak ia berkeliling. Bunda akan menemui Kanjeng Raden Adipati Buntoro. Setelah itu kita pulang.”
Abyaz menggelengkan kepalanya. Ia takut sesuatu terjadi pada bundanya. Ia tidak akan membiarkan kejadian malang yang menimpa ayahnya menimpa dia dan bundanya.
“Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan Perdana Menteri. Ayo kita pergi bersama Bunda”
Meski heran, Sri Handayani menggangguk. Mereka bangkit dan beranjak menuju ruangan sang Perdana Menteri. Dengan penuh basa basi Kanjeng Raden Adipati Buntoro mempersilahkan Sri Handayani dan Sunan Praja Diwono XII memasuki ruangannya.
“Suatu kehormatan Sunan Praja Diwono XII dan Kanjeng Gusti Ratu berkunjung kemari. Saya sempat khawatir tidak lagi mendengar kabar Gusti Ratu dan Sunan.”
Munafik! Pikir Abyaz. Ia mendengus dengan keras. Membuat ibunya dan Kanjeng Raden Adipati Buntoro menoleh ke arahnya. Abyaz memperhatikan ruangan yang tampak mengerikan. Di ruangan ini ia mendengar bahwa mereka berniat menyingkirkannya. Di tempat ini ia juga mendengar bahwa ayahnya mati karena pembunuhan berencana. Ia bergidik dan membayangkan dia dan ibunya mati secara perlahan di istananya sendiri. Abyaz bangkit dan menarik lengan ibunya.
“Mulai sekarang aku serahkan jabatanku padamu. Berkuasalah hingga kau mati dengan cara yang wajar. Aku harap kau tidak mati seperti ayahku.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Abyaz membawa ibunya keluar.
“Apa yang kamu katakan, Nak?”
“Sudahlah Bunda. Bagaimana pun aku mencoba masuk ke istana. Aku selalu takut. Aku tidak bisa menjadi raja. Aku tidak ingin kita berdua mati seperti ayahanda.”
“Apa maksudmu mati seperti ayahanda?” Sri Handayani mengehentikan langkahnya dan menatap Abyaz enuntut penjelasan.
“Asal Bunda tahu kenapa aku tidak pernah ingin kembali ke sini karena tiga tahun lalu aku mendengar pembicaraan Perdana Menteri dan Pepatih Dalem yang lain akan menyingkirkanku sama seperti mereka menyingkirkan ayah.”
Sri Handayani menutup mulutnya. Ia mengetahui fakta baru yang menyakitkan. Selama sepuluh tahun yang ia tahu bahwa suaminya meninggal karena penyakit jantung. Jadi, suaminya meninggal karena dibunuh? Dan mereka berniat membunuh anaknya juga? Sri Handayani menggelengkan kepalanya. Tidak akan aku biarkan! Ia mengusap air matanya lalu memeluk anaknya. Ia mengusap kepala Abyaz dengan penuh kasih sayang. Ia tidak akan membiarkan anaknya memiliki nasib yang tidak beruntung seperti suaminya.
“Ayo kita pulang, Nak. Bunda tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Kenapa kamu tidak pernah bercerita, Nak?” Abyaz menggeleng dan mengatakan bahwa ia tidak ingin ibunya bersedih. Sri Handayani mencium kening anaknya dengan penuh kasih sayang. Sungguh permainan politik yang kejam. Abhimata yang malang telah menjadi korban ketamakan kekuasaan.
***
“Bunda dan Abyaz dari mana saja, sih? Reyna pikir kalian udah ninggalin Rey di sini!” Reyna menepis lengan Abyaz yang berhasil menyentil keningnya.
“Kamu yang keluyuran! Udah puas belum liat-liatnya?” tanya Abyaz sinis.
“Jahat banget sih nanyanya. Bunda.” Reyna merengek dan memeluk bunda yang tersenyum menyambut pelukannya.
“Udah puas belum Rey? Kalau belum biar Abyaz antar kamu jalan-jalan. Kapan lagi kita bisa ke sini.” Reyna menggeleng.
“Udah puas kok, Bun. Ayo kita pulang.”
Bunda mengangguk dan mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Di tengah perjalanan mereka bertiga tertawa melihat hasil jepretan Reyna. Sesekali Reyna memuji gaya arsitektur kuno keraton. Reyna juga berceloteh ke sana ke mari. Membuat perjalanan pulang terasa menyenangkan. Namun, di foto terakhir, wajah Reyna terlihat sendu. Ia tidak kuasa menahan air mata untuk tidak lolos dari pelupuk matanya. Hal itu membuat Abyaz dan bundanya saling berpandangan. Mereka memperhatikan foto tersebut. Tidak ada yang aneh hanya foto selfie Reyna dengan seorang Abdi Dalem.
“Apa yang membuat kamu menangis, Nak?” tanya bunda yang tepat berada di samping kanan Reyna. Reyna menggelengkan kepalanya.
“Siapa sih raja keraton ini?” Bunda dan Abyaz kembali berpandangan, “kok tega-teganya meninggalkan kerajaan di tengah keadaan keraton yang carut-marut.” Sekali lagi bunda dan Abyaz berpandangan. Abyaz bahkan merasa sulit menelan salivanya sendiri.
“Memangnya kenapa, sayang?” tanya bunda lagi.
“Aku barusan bertemu seorang Abdi Dalem. Dia sudah tua. Dia bilang sejak Sunan Praja Diwono XI meninggal keadaan keraton sangat kacau. Ditambah Sunan Praja Diwono XII yang kabur dari...”
“Dia tidak kabur!” sela Abyaz sedikit menahan emosi. Namun bunda  mengangkat tangannya meminta Abyaz untuk tidak menyela pembicaraan Reyna.
“Sunan Praja Diwono XII kabur dari istana sejak tiga tahun lalu. Dulu katanya mereka meninggalkan istana untuk menenangkan diri dari kesedihan. Salama tujuh tahun, setiap tahun mereka selalu berkunjung. Namun sejak tiga tahun lalu Sunan Praja Diwono XII tidak pernah ke istana lagi padahal istana sangat membutuhkan rajanya.” Reyna terus terisak. Sedangkan Abyaz hanya menatap lurus ke depan dengan eskpresi datar.
“Apa yang mereka butuhkan dari raja? Mereka punya Perdana Menteri.” Secara tersirat Abyaz mencoba membela diri. Reyna menggelengkan kepalanya dan semakin terisak membuat bunda mau tidak mau mencoba menenangkan gadis itu.
“Kamu nggak tahu kalau Perdana Menteri dan antek-anteknya itu sangat jahat. Mereka sangat tamak dengan uang. Anggaran APBD yang diberikan setiap tahun oleh pemerintah entah dipakai untuk apa. Kamu tahu para Abdi Dalem selalu telat mendapat upah. Padahal upah mereka tidak seberapa.”
“Upah mereka kurang dari seratus ribu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menghidupi diri dan keluarganya. Meski mereka mengaku tidak masalah dengan keuangan karena mereka mencari berkah dari keraton. Hanya saja mereka khawatir terhadap nasib rakyat. Tidak jarang mereka memungut pajak yang berlebihan. Padahal rakyat sedang paceklik. Harga bahan pokok pun naik.”
“Aku tidak menyangka zaman sekarang masih ada yang begitu. Ini seperti penjajahan pada zaman Belanda. Keraton Kesunanan Jawa itu benar-benar gagal. Aku tidak mau berkunjung ke sana lagi. Rakyat saat ini sedang menanti rajanya. Mereka percaya rajanya akan sebijaksana ayahnya. Hanya saja mereka kesulitan melacak keberadaan raja. Di mana gerangan keberadaan raja itu? Apakah bunda dan Abyaz pernah mendengar tentang raja itu?”
“Sudah sayang, rakyat akan baik-baik saja.” Bunda mencoba menenangkan Reyna. Padahal hatinya benar-benar sakit. Separah itukah nasib rakyatnya? Bunda memandang anaknya yang tampak bergeming. Entah apa yang ada di pikiran anaknya. Namun ia juga tidak tega jika melihat anaknya dibayang-bayangi oleh ketakutan.
“Bagaimana kalau raja memiliki alasan. Ia tidak ingin mati terbunuh seperti ayahnya?” Abyaz masih mencoba membela dirinya. Meski hati nuraninya ingin menyelamatkan nasib rakyatnya. Namun ketakutan masih mengalahkan hati nuraninya. Reyna kembali menggelang.
“Berarti raja itu pengecut. Ia memiliki kekuasaan tapi memilih lari dari tanggung jawab untuk menyelamatkan dirinya sendiri sementara nasib ribuan orang menderita. Raja itu sangat pengecut Abyaz. Aku tidak tahu ada raja sepengecut itu.” Abyaz mengepalkan tangannya. Ia meninju kursi kemudi dengan keras.
“Pak kembali ke istana!” perintahnya pada sopir. Ia bukan pengecut. Ia bukan pengecut. Kanjeng Gusti Ratu menitikkan air matanya. Ia merasa keajaiban benar-benar dibawa oleh gadis ini. Berkali-kali ia mencium pipi gadis yang tampak tidak mengerti mengapa Abyaz meminta sopir kembali ke istana? Mengapa bunda ikut menangis? Reyna mencoba menerka-nerka apa yang terjadi. Dan pikiran gila menghampirinya? Tidak mungkin! Tidak mungkin Abyaz adalah raja itu.
Reyna menggelengkan kepalanya. Menepis pikiran konyol yang mampir dalam benaknya. Tiba-tiba bayangannya tertuju pada ingatan saat Abyaz tiba-tiba bertanya tentang keraton, lalu melompat ke ingatan pada saat ia hendak masuk ke ruangan yang berisi foto para raja, juga saat Abyaz merasa kaget saat mengetahui ia mencari tahu tentang keraton kesunanan di internet. Mungkinkah Abyaz? Reyna menoleh pada Abyaz yang berada di samping kanan bunda. Abyaz tampak gelisah? Mungkinkah Abyaz?
“Reyna tolong hubungi polisi.” Perintah Abyaz sebelum keluar dari mobil.
“Bunda?” tanya Reyna. Namun bunda hanya tersenyum sambil mengangguk. Sesekali bunda mengusap sudut matanya yang tampak berair. Ia mengajak Reyna mengikuti Abyaz yang sudah terlebih dahulu memasuki ruangan yang tadi mereka tinggalkan.
Abyaz menggebrak ruangan Kanjeng Raden Adipati Buntoro dengan keras. Ia melihat beberapa Pepatih Dalem yang tampak kaget dengan kedatangannya. Di ruangan tersebut ia melihat beberapa botol minuman. Tampaknya mereka sedang berpesta merayakan kemundurannya. Ia mendengus dengan keras.
“Apa ini yang kalian lakukan selama aku tidak ada?” Abyaz mengangkat botol minuman itu dan membantingnya dengan keras, “kalian habiskan uang rakyat untuk hal tidak berguna semacam ini?”
“Lalu apa yang akan kau lakukan bocah ingusan? Kemana saja kau selama ini?” Raden Adipati Buntoro tidak lagi menyembunyikan wajah palsunya. Ia juga tidak tahan harus bersikap hormat apalagi hanya pada seorang anak kecil. Abyaz kembali mendengus.
“Akhirnya kau keluarkan wajah aslimu Buntoro. Aku tidak heran dengan tingkah laku kalian. Ayahku yang seorang raja saja berani kalian bunuh, apalagi hanya aku yang seorang anak kecil! Tapi sebelum itu terjadi sebagai Sunan Praja Diwono XII aku memberhentikan kalian secara tidak hormat!” Hening. Semua Pepatih Dalem yang berada di ruangan tersebut tertawa.
“Bukankah kau sudah menurunkan jabatannya padaku? Itu berati kau bukan seorang Sunan lagi!” Buntoro tertawa, “anak kecil memang labil, lebih baik kau pergi saja dengan kekasihmu itu!” Buntoro menunjuk Reyna yang tengah berdiri bersama Sri Handayani.
“Penurunan jabatan itu tidak sah. Belum ada wisuda untuk mensahkannya. Lagi pula tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Tidak kusangka kalian ternyata lebih hina dari binatang kalian membunuh suamiku dan membunuh mental anakku sehingga dia takut menjadi raja karena sikap arogan kalian!” Kembali mereka tertawa.
Buntoro memberikan kode pada teman-temannya untuk menangkap Abyaz dan kedua wanita itu.  ketika Abyaz dan kedua wanita kesayangannya diringkus paksa mereka  bertiga sama sekali tidak berontak. Setenang mungkin mereka bertiga mengangguk. Polisi akan segera datang dan menangkap manusia tak beradab itu.
“Memang benar aku telah membunuh suamimu.” Buntoro memandang Sri Handayani dengan pandangan cemooh, “dan sebentar lagi aku akan membunuh kau dan anakmu yang bodoh itu, juga...”
Bustoro memandang Reyna dengan teliti, “tidak. Aku tidak akan membunuhmu manis, aku akan menjadikanmu sebagai salahsatu selirku” Buntoro mengusap wajahnya setelah Reyna meludahinya. Reyna memandang pria tua itu dengan jijik.
“Jangan harap!” sinisnya.
“Ternyata kau liar juga ya gadis kecil. Tapi tidak apa-apa aku menyukainya. Tetap tenang dan saksikan kematian mantan kekasihmu tersayang itu.”
Abyaz mengangguk pada Reyna dan bundanya. Sebentar lagi polisi akan datang, ia membiarkan mereka menyiksanya terlebih dahulu. Darah yang mengalir dari sudut bibirnya tidak menjadikannya gentar. Kemenangan akan segera tiba, pikir Abyaz. Ini adalah balasan yang setimpal untuk penderitaan rakyatnya selama bertaun-taun. Kanjeng Gusti Ratu dan Reyna tidak bisa menghentikan tangisnya melihat penyiksaan yang dilakukan manusia bengis itu pada Abyaz. Mereka berdoa semoga polisi segera tiba.
“Jangan bergerak!” doa mereka terkabul. Polisi datang tepat waktu. Pepatih-pepatih Dalem itu kelabakan. Mereka mengangkat tangannya. Dengan sigap polisi meringkus para penjahat itu. Mereka berteriak tidak bersalah. Reyna dengan cepat memberikan bukti rekaman percakapan mereka barusan. Gadis yang pandai pikir Sri Handayani. Sri Handayani kemudian menemani polisi untuk menjadi saksi.
Reyna menangis melihat wajah Abyaz yang terlihat tidak berbentuk. Ia mengusap darah yang mengalir di wajah kekasihnya menggunakan scraft yang tersampir di lehernya.
“Rey..” lirih Abyaz.
“Ssst” Reyna menempelkan jarinya di bibir Abyaz. Abyaz menggeleng ingin tetap berbicara.
“Maaf ya aku jadi tidak seksi lagi,” Abyaz terkekeh lirih, “maafkan aku juga karena aku bukan raja yang baik. Kamu pasti ilfeel ya sama aku? Rey, jangan tinggalkan aku. Aku memang raja yang penegcut, tapi kumohon jangan tinggalkan aku.” Abyaz memegang tangan Reyna. Reyna menggeleng ikut meneteskan air matanya. Reyna mendekatkan bibirnya ke telinga Abyaz.
“Di mata aku, kamu adalah raja yang paling keren.” Bisik Reyna kemudian ia mengangguk dan tersenyum ke arah Abyaz. Abyaz mencoba tersenyum meski diakhiri dengan meringis. Ia bersyukur memiliki seorang Reyna. Setelah ini ia akan menjadi raja yang bertanggungjawab dan juga bijaksana. Abyaz tersenyum pada bundanya yang baru saja memasuki ruangan sambil menangis haru.
“Bunda.”
“Selamat sayang. Kamu sudah menang. Ini hal yang luar biasa bagi bunda. Kamu benar-benar anak Abhimata.” Bunda memeluk Abyaz dengan gembira. Kemudian ia menoleh ke arah Reyna.
“Sayang kamu adalah mutiara terbaik dalam hidup kami.” Sri Handayani mengelus pipi Reyna. Reyna hanya tersenyum. Ia tidak menyangka kalau selama ini berhubungan langsung dengan seorang raja. Bagaimana tanggapan orang tuanya mengetahui ternyata dirinya berhubungan dengan seorang bangsawan. Ah memikirkannya saja membuat Reyna malu.
“Bunda. Biar aku benar-benar menjadi anak Abhimata, bolehkan aku menjadikan Reyna sebagai satu-satunya permaisuri dalam hidupku.”
Kedua wanita itu saling bertatapan kemudian secara bersama-sama memukul lengan lelaki muda itu, melupakan luka-luka yang ada dalam diri sunan yang baru menemukan jati dirinya sebagai seorang raja. Abyaz menatap Reyna penuh syukur. Seperti kata bundanya, Reyna adalah mutiara bagi mereka, khususnya untuk keraton kesunanan ini. Terimasih my pearl. I’m a lucky guy ever in the world.
Setahun kemudian setelah Sunan Praja Diwono XII menamatkan sekolahnya, mereka merayakan upacara Tinggalan Dalem Jumenengan untuk memperingati kenaikan tahta raja sekaligus upacara pernikahan Sunan dengan Kanjeng Gusti Ratu Reyna.
I love you my pearl.
I love you more, my king.




[1] Gelar untuk susuhunan atau raja
[2] Pepatih Dalem: wakil raja dalam bidang pemerintahan, seperti Perdana Menteri
[3] Abdi Dalem: orang-orang yang mengabdikan diri kepada raja.

Cincin berdarah Jilid II

sebelum baca jilid ke II ini alangkah baiknya untuk mengingat lihat cincin berdarah jilid I ya


“Hay perempuan cincin berdarah. Aku mau mengenalmu lebih dekat bolehkah?”

Pernyataan lelaki itu terus muncul dalam benakku. Sudah hampir seminggu dan aku memutuskan untuk tidak keluar kamar sama sekali. Nenek, Dita, dan Sarah pun tak kubiarkan masuk atau berinteraksi denganku, terlebih lelaki itu. Jujur aku sangat takut ada manusia yang mengetahui keberadaan generasi cincin berdarah yang bahkan nenekku sendiri tidak mengetahuinya. Yang lebih membuatku heran adalah kenapa si lelaki itu tidak menghindariku seperti kakeknya dulu yang menurut apa yang dia ceritakan justru langsung takut pada nenek buyutku. Entahlah aku tidak pernah mendengar cerita ini. Dan semakin aku pikirkan semakin aku penasaran dengan misteri ini. Aku harus mencari tahunya. Ya, aku harus mencari tahunya.

Ayah menjemputku tepat dua hari setelah nenek menelponnya. Ya. Hanya telepon rumah yang dimiliki keluarga cincin berdarah untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Hal ini jelas membuatku kaget bahwa ada benda pintar berbentuk kotak yang bisa di bawa kemana-mana dan dapat melakukan apa pun. Dita dan Sarah menertawakan kebodohanku. Mereka menanyakan dari bumi mana aku berasal dan aku langsung mengalihkan pembicaraan tentu saja takut jika mereka tahu bahwa duniaku memang berbeda dengan mereka.


Ibu memelukku dengan penuh kerinduan. Matanya terbelalak ketika aku mengatakan telah memotong jari seseorang. Ibu memelukku dengan kasihnya, menenangkanku yang terisak merutuki keturunan sial ini. Ibu berkali-kali meminta maaf karena melahirkanku. Tidak. Bahkan ibu tidak bersalah. Lagi pula ibu adalah manusia biasa yang tidak tahu bagaimana rasanya memotong jari orang. Terlebih ibu adalah manusia baik hati yang berniat melepaskan kutukan aneh ini dengan menikahi ayah yang murni seorang generasi cincin berdarah.

Mengingat ibu adalah manusia biasa, aku jadi penasaran bagaimana ibu mau menerima keadaan ayah? Padahal ibu adalah seorang perempuan. Kenapa ibu tidak lari saja dan meninggalkan ayah seperti kakek si lelaki yang tunangannya ia celakai?

"Bu," ragu aku bertanya. Ibu mengangukka kepala, mengusap lembut kepalaku, hati-hati aku ertanya, "Kenapa Ibu mau menikah dengan ayah?" 

Pertanyaan ini membuat alis ibu bertaut, tak lama kemudian ibu tertawa dengan renyah, cantik sekali. Pantas ayah tergila-gila padanya.

"Sayang, apa itu penting untukmu?" Ibu balik bertanya. Kepalaku mengangguk.

"Bagaimana bisa Ibu menikah dengan ayah yang bukan manusia biasa. Apa I
bu tidak takut seandainya ayah tiba-tiba memotong jari ibu?" mataku beralih pada jari-jari ibu yang lentik. Sekali lagi ibu tersenyum.

"Sayang. Kamu tahu ketika kamu sudah mencintai seseorang, seburuk apa pun, semenakutkan apa pun orang yang kamu cintai di mata orang lain ketika ada cinta di hatinya tidak ada yang perlu ditakutkan."

Aku tidak mengerti. Menatap ibu penuh kebingungan. Lagi ibu tersenyum dan mencium keningku.

"Suatu saat kamu akan mengerti. Sekarang kamu istirahat saja dulu. Ayah akan mencarikan jalan keluar yang terbaik untukmu, ya?" Aku mengangguk. Meski aku sangat tidak puas dengan jawaban ibu. Lalu kenapa kakek lelaki di penginapan itu kabur setelah mengetahui jati diri nenek buyutku?

"Bu," Ibu membalikkan tubuhnya saat hendak membuka pintu.

"Bagaimana jika ada pria yang kabur setelah mengetahui jati diri kita?" 

"Berarti dia bukan pria yang baik. Dia tidak seratus persen mencintai kita dan tidak menerima kita apa adanya."
***
Meski trauma masih menyelimuti jiwaku. Aku memberanikan diri masuk ke perpustakaan kastil dingin ini. Bayangan jari-jari yang bergerak seperti ulat itu sudah tidak terlalu menakutkan setelah sebelumnya aku pernah memotong jari seseorang. Mengingat itu semua membuatku takut dengan diriku sendiri. I'm a monster. Dan jika orang-orang di penginapan tahu, mereka akan mengasingkan aku. Tidak. Mereka semua tidak boleh tahu. Tapi lelaki itu mengetahui semuanya! Bahkan dia tahu mengenai generasi cincin berdarah. Bagaimana kalau dia menyebarkan berita ini pada orang-orang di luar sana? Bagaimana kalau dia mengatakan pada orang-orang kalau tunangannya telah aku lukai? Tunangannya! Bagaimana kabar perempuan itu? Apa dia akan melaporkannya pada nenek. Ah mengingat itu semua membuat kepalaku pusing. Aku tidak mau kembali ke penginapan nenek. Tidak aku tidak akan mau.

"Dara!"

Deg!

Jantungku! Rasanya hampir lepas dari tempatnya. Aku membalikkan tubuhku dan melihat orang yang baru saja menyebut namaku dengan tubuh bergetar. Ke- kenapa dia ada di sini? Bahkan suara hatiku sendiri tidak bisa berbicara normal. Dia lelaki yang baru saja aku pikirkan tengah tersenyum ke arahku. Dari mana dia tahu alamatku. Hey! Bahkan nenekku yang dari Bogor saja tidak mengetahui kastil ini. Aku menatapnya dengan wasapada. Siapa lelaki ini?

"Hey! Jangan takut, okay? Aku tidak bermaksud jahat padamu!"

Aku melangkahkan kaki ke belakang seiring ia yang melangkahkan kakinya ke depan. Mengambil buku yang terdekat dalam jangkauan dan memeluknya dalam dadaku. Entahlah apa yang aku lakukan tapi aku merasa terlindungi.

"Dara"

"Jangan mendekat!" teriakku sambil mengacungkan buku dan kujadikan sebagai tameng.


"Dara, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu okay. Aku hanya ingin berteman denganmu"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu tempat ini" tanganku semakin erat memeluk buku.

Lelaki itu tersenyum. Entah kenapa ada sengatan listrik menjalar dalam tubuhku. Lelaki ini benar-benar berbahaya. Senyumnya mengandung energi listrik. Buku yang kupegang bahkan sampulnya hampir robek oleh jari-jariku.

"Kamu ingat kakek buyutku?" katanya dengan tenang.

Kakek buyut? Kakek yang meninggalkan nenekku karena tidak menerima keadaan kami?

"Kalian orang jahat!" Aku kembali berteriak, lelaki itu tersentak. 

"Bagaiman kamu bisa berkata begitu, Dara?" 

"Kakekmu tidak mencintai nenekku! Kakekmu meninggalkan nenekku! Kalian jahat! Kalian tidak menerima kami! Kalian tidak menerima kami! Pergi kamu!" Aku kembali berteriak. Tidak peduli orang-orang kastil akan mendengarnya. 

"Dara kamu salah paham! Aku akan menjelaskan semuanya!"

"Tidak!" Aku kembali berteriak! "Pergi kamu sekarang juga! Pergi!"
 
Aku terus berteriak-teriak. Kenapa orang-orang kastil tidak ada yang kemari sih? Kemana ayah dan ibu? Di saat seperti ini aku bahkan ingin nenek yang biasanya aku benci datang dan mengusir pria ini! Aku masih ingat orang-orang kastil langsung menemuiku ketika aku ketakutan melihat jari-jari yang terkutuk itu tempo lalu.Kenapa tidak ada yang mendengarku?

"Oke Dara. Tenang. Mungkin kamu belum siap. Tapi aku akan terus menunggu kamu dan menjelaskan semuanya. Baiklah aku akan pergi! Aku menunggu kamu" 

Lelaki itu berbalik dan berjalan menjauhiku. Entah kenapa air mata jatuh menghujani pipiku. Aku terisak sambil menelungkupkan kepalaku. Kenapa aku menangis? Kenapa aku merasa ada yang hilang dalam jiwaku? Kenapa aku seperti ini?Lelaki itu semakin menjauh-menjauh dan menghilang. 

bersambung.....