Minggu, 07 Januari 2018

Cincin berdarah Jilid II

sebelum baca jilid ke II ini alangkah baiknya untuk mengingat lihat cincin berdarah jilid I ya


“Hay perempuan cincin berdarah. Aku mau mengenalmu lebih dekat bolehkah?”

Pernyataan lelaki itu terus muncul dalam benakku. Sudah hampir seminggu dan aku memutuskan untuk tidak keluar kamar sama sekali. Nenek, Dita, dan Sarah pun tak kubiarkan masuk atau berinteraksi denganku, terlebih lelaki itu. Jujur aku sangat takut ada manusia yang mengetahui keberadaan generasi cincin berdarah yang bahkan nenekku sendiri tidak mengetahuinya. Yang lebih membuatku heran adalah kenapa si lelaki itu tidak menghindariku seperti kakeknya dulu yang menurut apa yang dia ceritakan justru langsung takut pada nenek buyutku. Entahlah aku tidak pernah mendengar cerita ini. Dan semakin aku pikirkan semakin aku penasaran dengan misteri ini. Aku harus mencari tahunya. Ya, aku harus mencari tahunya.

Ayah menjemputku tepat dua hari setelah nenek menelponnya. Ya. Hanya telepon rumah yang dimiliki keluarga cincin berdarah untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Hal ini jelas membuatku kaget bahwa ada benda pintar berbentuk kotak yang bisa di bawa kemana-mana dan dapat melakukan apa pun. Dita dan Sarah menertawakan kebodohanku. Mereka menanyakan dari bumi mana aku berasal dan aku langsung mengalihkan pembicaraan tentu saja takut jika mereka tahu bahwa duniaku memang berbeda dengan mereka.


Ibu memelukku dengan penuh kerinduan. Matanya terbelalak ketika aku mengatakan telah memotong jari seseorang. Ibu memelukku dengan kasihnya, menenangkanku yang terisak merutuki keturunan sial ini. Ibu berkali-kali meminta maaf karena melahirkanku. Tidak. Bahkan ibu tidak bersalah. Lagi pula ibu adalah manusia biasa yang tidak tahu bagaimana rasanya memotong jari orang. Terlebih ibu adalah manusia baik hati yang berniat melepaskan kutukan aneh ini dengan menikahi ayah yang murni seorang generasi cincin berdarah.

Mengingat ibu adalah manusia biasa, aku jadi penasaran bagaimana ibu mau menerima keadaan ayah? Padahal ibu adalah seorang perempuan. Kenapa ibu tidak lari saja dan meninggalkan ayah seperti kakek si lelaki yang tunangannya ia celakai?

"Bu," ragu aku bertanya. Ibu mengangukka kepala, mengusap lembut kepalaku, hati-hati aku ertanya, "Kenapa Ibu mau menikah dengan ayah?" 

Pertanyaan ini membuat alis ibu bertaut, tak lama kemudian ibu tertawa dengan renyah, cantik sekali. Pantas ayah tergila-gila padanya.

"Sayang, apa itu penting untukmu?" Ibu balik bertanya. Kepalaku mengangguk.

"Bagaimana bisa Ibu menikah dengan ayah yang bukan manusia biasa. Apa I
bu tidak takut seandainya ayah tiba-tiba memotong jari ibu?" mataku beralih pada jari-jari ibu yang lentik. Sekali lagi ibu tersenyum.

"Sayang. Kamu tahu ketika kamu sudah mencintai seseorang, seburuk apa pun, semenakutkan apa pun orang yang kamu cintai di mata orang lain ketika ada cinta di hatinya tidak ada yang perlu ditakutkan."

Aku tidak mengerti. Menatap ibu penuh kebingungan. Lagi ibu tersenyum dan mencium keningku.

"Suatu saat kamu akan mengerti. Sekarang kamu istirahat saja dulu. Ayah akan mencarikan jalan keluar yang terbaik untukmu, ya?" Aku mengangguk. Meski aku sangat tidak puas dengan jawaban ibu. Lalu kenapa kakek lelaki di penginapan itu kabur setelah mengetahui jati diri nenek buyutku?

"Bu," Ibu membalikkan tubuhnya saat hendak membuka pintu.

"Bagaimana jika ada pria yang kabur setelah mengetahui jati diri kita?" 

"Berarti dia bukan pria yang baik. Dia tidak seratus persen mencintai kita dan tidak menerima kita apa adanya."
***
Meski trauma masih menyelimuti jiwaku. Aku memberanikan diri masuk ke perpustakaan kastil dingin ini. Bayangan jari-jari yang bergerak seperti ulat itu sudah tidak terlalu menakutkan setelah sebelumnya aku pernah memotong jari seseorang. Mengingat itu semua membuatku takut dengan diriku sendiri. I'm a monster. Dan jika orang-orang di penginapan tahu, mereka akan mengasingkan aku. Tidak. Mereka semua tidak boleh tahu. Tapi lelaki itu mengetahui semuanya! Bahkan dia tahu mengenai generasi cincin berdarah. Bagaimana kalau dia menyebarkan berita ini pada orang-orang di luar sana? Bagaimana kalau dia mengatakan pada orang-orang kalau tunangannya telah aku lukai? Tunangannya! Bagaimana kabar perempuan itu? Apa dia akan melaporkannya pada nenek. Ah mengingat itu semua membuat kepalaku pusing. Aku tidak mau kembali ke penginapan nenek. Tidak aku tidak akan mau.

"Dara!"

Deg!

Jantungku! Rasanya hampir lepas dari tempatnya. Aku membalikkan tubuhku dan melihat orang yang baru saja menyebut namaku dengan tubuh bergetar. Ke- kenapa dia ada di sini? Bahkan suara hatiku sendiri tidak bisa berbicara normal. Dia lelaki yang baru saja aku pikirkan tengah tersenyum ke arahku. Dari mana dia tahu alamatku. Hey! Bahkan nenekku yang dari Bogor saja tidak mengetahui kastil ini. Aku menatapnya dengan wasapada. Siapa lelaki ini?

"Hey! Jangan takut, okay? Aku tidak bermaksud jahat padamu!"

Aku melangkahkan kaki ke belakang seiring ia yang melangkahkan kakinya ke depan. Mengambil buku yang terdekat dalam jangkauan dan memeluknya dalam dadaku. Entahlah apa yang aku lakukan tapi aku merasa terlindungi.

"Dara"

"Jangan mendekat!" teriakku sambil mengacungkan buku dan kujadikan sebagai tameng.


"Dara, aku tidak bermaksud untuk menyakitimu okay. Aku hanya ingin berteman denganmu"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu tempat ini" tanganku semakin erat memeluk buku.

Lelaki itu tersenyum. Entah kenapa ada sengatan listrik menjalar dalam tubuhku. Lelaki ini benar-benar berbahaya. Senyumnya mengandung energi listrik. Buku yang kupegang bahkan sampulnya hampir robek oleh jari-jariku.

"Kamu ingat kakek buyutku?" katanya dengan tenang.

Kakek buyut? Kakek yang meninggalkan nenekku karena tidak menerima keadaan kami?

"Kalian orang jahat!" Aku kembali berteriak, lelaki itu tersentak. 

"Bagaiman kamu bisa berkata begitu, Dara?" 

"Kakekmu tidak mencintai nenekku! Kakekmu meninggalkan nenekku! Kalian jahat! Kalian tidak menerima kami! Kalian tidak menerima kami! Pergi kamu!" Aku kembali berteriak. Tidak peduli orang-orang kastil akan mendengarnya. 

"Dara kamu salah paham! Aku akan menjelaskan semuanya!"

"Tidak!" Aku kembali berteriak! "Pergi kamu sekarang juga! Pergi!"
 
Aku terus berteriak-teriak. Kenapa orang-orang kastil tidak ada yang kemari sih? Kemana ayah dan ibu? Di saat seperti ini aku bahkan ingin nenek yang biasanya aku benci datang dan mengusir pria ini! Aku masih ingat orang-orang kastil langsung menemuiku ketika aku ketakutan melihat jari-jari yang terkutuk itu tempo lalu.Kenapa tidak ada yang mendengarku?

"Oke Dara. Tenang. Mungkin kamu belum siap. Tapi aku akan terus menunggu kamu dan menjelaskan semuanya. Baiklah aku akan pergi! Aku menunggu kamu" 

Lelaki itu berbalik dan berjalan menjauhiku. Entah kenapa air mata jatuh menghujani pipiku. Aku terisak sambil menelungkupkan kepalaku. Kenapa aku menangis? Kenapa aku merasa ada yang hilang dalam jiwaku? Kenapa aku seperti ini?Lelaki itu semakin menjauh-menjauh dan menghilang. 

bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar