Kamis, 14 September 2017

Sepupu Cinta #Talita PoV

Lagi. Pesan singkat yang sama.  Dan ini bukan yang pertama kalinya. Aku tidak bisa lagi menahan sesuatu yang bening dan  cair itu menghalangi pandangan mata yang tertuju pada layar 7 inchi di genggamanku. Walau begitu aku masih bisa dengan jelas membaca pesan singkat yang masuk sekitar tujuh menit yang lalu.

Putra
Talita hubungan kita sudah tidak bisa 
diteruskan lagi. Aku tidak suka kamu dekat
dengan pria lain, meski hanya sepupu.
Aku melepaskanmu. Jangan cari aku lagi.

Cairan bening itu lolos satu per satu menuruni pipiku yang sedikit chubby. Tanpa bisa kutahan isakan kecil terus bersahutan bersamaan dengan turunnya cairan bening itu. Bagaimana mungkin hal ini terjadi lagi? Semua pria yang dekat denganku selalu memutuskanku secara sepihak dengan alasan yang sama. Cemburu. Cemburu pada sepupuku sendiri, Mas Khaidar. Apa mereka gila? Bagaimana mungkin mereka mencemburui kakakku sendiri yang sudah hidup seatap denganku selama belasan tahun. Kami memang sangat dekat karena bagaimana pun kami adalah saudara. Tapi bagaimana mungkin mereka menyalahartikan kedekatan kami ini. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti.
"De, kamu kok nangis sih? Siapa yang udah menyakiti kamu, bilang sama Mas! Biar Mas hajar," aku mengangkat kepalaku yang tertumpu pada bantal. Aku bahkan tidak menyadari kapan kakak sepupuku ini membuka pintu kamar. 

"Siapa yang menyakiti kamu? Bilang, De!" wajahnya tampak gusar. Dan aku semakin tergugu, aku ingin memeluknya saat ini juga, namun segera kuurungkan ketika alam bawah sadarku mengatakan mungkin ini yang menyebabkan mereka -para pria yang dekat denganku- cemburu. 

"De!" 

"Kamu, Mas!" ucapku lantang, "kamu yang telah menyakitiku! Kamu sungguh sudah menyakitiku!"

"Aku?" Mas Khaidar mengerutkan keningnya dengan bingung, wajahnya tampak lebih cemas dari sebelumnya, "katakan De, aku salah apa biar aku memperbaiki sikapku."

"Mas terlalu baik sama aku. Mas terlalu jagain aku. Mas terlalu memanjakan aku. Seharusnya kamu tidak bertindak seperti itu ke aku, Mas. Itu semua menyakitiku. Mas terlalu dekat dengan aku, sehingga aku merasa tidak bisa hidup tanpa kamu. Perlakuanmu itu membuatku melupakan kalau aku memiliki kekasih yang juga ingin dibutuhkan olehku. Sekarang giliran Putra yang pergi meninggalkan aku."

Tanganku menghapus air yang semakin banyak menghujani pipiku. Ini semua salah. Sekarang aku tahu akar masalahnya. Aku terlalu dekat dengan Mas Khaidar, terlalu memprioritaskan Mas Khaidar dan terlalu membutuhkannya. 

"Jadi kamu menangis gara-gara diputusin lelaki cengeng itu?" Mas Khaidar menarik sudut bibir kanannya, "sudah lupakan dia cari lagi yang baru!" 

Aku menatapnya tidak percaya. Setelah mengatakan itu dia berlalu dari hadapanku tanpa mengatakan apa-apa lagi, maksudku bahkan dia tidak mencoba menghiburku. Aku melemparkan bantalku tepat mengenai punggungnya sebelum dia menutupkan pintu. Aku membencinya. Aku sangat membencinya. 

***
Aku mengacak-acak isi mobil lelaki yang kini dengan santainya duduk di kursi kemudi. Ia tidak merasa terganggu dengan aktivitas yang aku lakukan. Ini orang berubah jadi patung apa ya? Aku jadi kesal sendiri.


"Mas! Tegor kek. Nggak asyik banget sih diem aja kayak patung!" kedua tanganku terlipat di dada. 


"Maaf," ia menoleh, "Anda siapa ya?" Aku menatapnya tidak percaya. Tanganku segera mendarat di lengannya, mencubiti kecil-kecil.

"Mas Khaidar apaan sih nggak lucu!"

"Bukannya kamu nggak mau ngomong sama aku. Seminggu kemaren nggak mau berangkat bareng dan menolak berbicara?"

Pipiku memanas. Setelah insiden meratapi kepergian Putra aku memang berusaha menjauh dari yang kuanggap sebagai biang kerok dalam hubungan kami. Tapi, aku hanya kuat tiga hari. Selama empat hari kemarin aku merasa tidak kuat jauh-jauh dari masku ini. Sangat tersiksa mengacuhkan keberadaannya. Aku rindu sikap jailnya. Aku rindu perhatiannya, dan lagi aku rindu adu mulut dengannya, maksudnya adu argumen. Aku merasa kesepian tanpanya. 

"Gitu aja ngambek!" ketusku. 

Dia menjulurkan lidahnya. Dan entah bagaimana kami kembali berbicara ke sana ke mari. Aku sangat menikmati momen seperti ini. Kepergian Putra tidak begitu berarti besar dalam kehidupanku, tapi jika Mas Khaidar yang pergi aku yakin aku akan merasa duniaku hancur. 

"Mas jangan tinggalin aku ya?" ucapku tiba-tiba. Ia menolehkan wajahnya. Ekspresinya berubah menjadi kaku. Apa aku salah bicara? Ia tidak menjawabnya dan sampai aku tiba di depan kampusku dia tidak mengatakan apa pun lagi. Sepertinya ia memang berniat jadi patung hari ini. Sebelum aku membuka pintu mobil, dan membiarkan dia pergi ke kantornya aku menyentil kelopak matanya. Ia mengeram marah yang membuatku tergelak.

***
"Apa, Bu? Mas Khaidar akan bertunangan?" rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Memang sih aku belum pernah merasakan disambar petir hanya saja aku merasa seperti benar-benar dipukul sangat keras mendengar berita ini.  Entah harus gembira atau tidak.

"Iya sayang. Ibu juga tidak menyangka. Akhirnya lelaki bujangan yang sudah hampir kepala tiga itu memutuskan melamar wanita yang dicintainya selama ini." mata ibu sangat berbinar. Ini kalau bukan ibu sendiri aku tidak tahu akan berbuat apa melihat ekspresi bahagianya. Masalahnya si kakak tua itu tidak pernah mengenalkan kekasihnya padaku. Bagaimana kalau ternyata si ceweknya jelek? Tapi nggak mungkin Mas Khaidar kan ganteng, pasti ia dapat yang cantik. Bagaimana kalau ceweknya nggak bener terus nggak bisa jagain masku?! Tidak! Masku tidak layak mendapatkan cewek seperti itu. Aku harus tahu siapa wanita itu.

"Nggak bisa, Bu! Mas Khaidar nggak boleh bertunangan!" Aku beranjak dan berlari menuju kamar sepupu yang berambut ikal itu. Bisa-bisanya dia tidak mengabarkan berita penting ini pada adiknya. Oh pantas saja dia waktu itu tidak menjawab permintaanku. Ternyata dia sudah berniat meninggalkanku. 

Tanganku menggebrak meja kerja si tuan yang katanya sebentar lagi akan bertunangan tapi tidak memberi tahu orang yang sudah hidup dengannya selama belasan tahun. Yang digebrak malah menatapku dengan bosan dan hanya mengangkat sebelah alisnya. 

"Jelaskan padaku, siapa dia?"

Napasku memburu. Aku beneran marah padanya. Sangat sangat marah. Marah yang sebenar-benarnya marah.

"Nanti juga kamu akan tahu" jawabnya sambil kembali menekuni pekerjaanya. Aku berani bersumpah manusia ini menjadi sangat tidak asyik. Sejak dia mengenal perempuan itu dia menjadi pendiam begini.

"Mas, aku berani bersumpah ya, selama 12 tahun mengenal kamu, kamu tidak pernah dekat dengan seorang wanita mana pun apalagi membawanya ke rumah. Katakan padaku siapa wanita penggoda itu?"

"Penggoda?" aku merasa ciut melihat ekpresinya. Sepertinya aku telah membuatnya tersinggung.

"Demi apapun Mas, aku perlu tahu siapa wanita itu! Kalau tidak, aku akan menganggapnya sebagai cewek penggoda!"

Mas Khaidar kembali memasang wajah menyeramkan. Tatapannya sangat mengintimidasi. Tanpa berkata apa pun tangannya ia arahkan pada pintu keluar. Ia mengusirku. Masku mengusirku. Demi apa pun aku tidak akan memaafkan wanita yang telah merebut perhatian dia dariku. Aku bersumpah tidak akan menghadiri pertunangan apalagi pernikahannya. Kalau diadakan di rumah ini aku tidak akan keluar kamar atau lebih baik aku kabur saja. 
***
Semua orang sibuk mempersiapkan acara pertunangan si kakak bujangan lapuk itu. Mulai dari orang tuaku, orang tua Mas Khaidar, dan seluruh keluarga besar kami menyambutnya dengan suka cita, terkecuali aku. Malas sekali aku harus ikut membantu pertunangan yang tidak kurestui ini. Kami sudah sepakat untuk urusan pasangan. Kami berdua harus saling mempertimbangkan pasangan biar kehidupan kami sama-sama bahagia. Mas Khaidar benar-benar keterlaluan. Ia tidak memberitahukan siapa wanita penggoda itu! Selamanya aku akan memanggilnya wanita penggoda.

"Ayo sayang. Kita harus fitting baju buat acara pertunangan nanti," ajak ibu. Aku menjawabnya ogah-ogahan. Meminta ibu mewakiliku saja tapi ibu malah langsung marah dan menyeretku keluar. 

Benar-benar menyebalkan. Aku tidak peduli harus pake baju apa untuk acara itu. Aku hanya ingin duduk dan tidak ingin melihat acara itu. Demi apa pun aku tidak mau aku tidak rela. Mas Khaidar datang bersama seorang wanita. Deg. Hatiku rasanya tercabik-cabik. Apakah dia? Cantik sih, seksi lagi, dan iuh banget. Masa selera Mas Khaidar yang seksi-seksi begitu. Kupikir perempuan anggun yang tubuhnya terbalut rapi kain panjang yang cantik. Ya ampun aku benar-benar tidak rela masku menikah dengan wanita penggoda macam dia. Benarkan dugaanku, wanita itu memang penggoda.


Karena kesal aku beranjak dan menghentakkan kaki di hadapan pasangan yang lagi di mabuk cinta. Bodo amat apa tanggapan si penggoda itu. Mau bilang aku tidak sopan? Bodo amat! Karena dia juga sudah tidak sopan menggoda masku! Aku terus berjalan keluar meski ibu memanggil-manggilku. Bodo amat! Aku tidak peduli dengan acara tunangan sial itu. Apalagi liat ceweknya begitu. Hiih. Mas Khaidar kok mau sama jenis model begituan.

***
"Nyokap lo barusan nelpon. Gue bilang aja lo lagi di sini sama gue." mendengar perkataan Salsa aku mengepalkan tangan dan memukul-mukulkannya ke lututku sendiri. Ini aku punya temen kelewat baik, kelewat jujur, dan juga sangat kelewatan. Niatnya kan dari rumah aku mau kabur. Aku sama sekali tidak mau menghadiri acara pertunangan Mas Khaidar besok. Tak mau! Aku tidak sudi. Aku tidak suka. Hatiku rasanya hancur. Aku tidak suka. Aku pun tidak mengerti kenapa hatiku bisa sesakit ini. Apa setiap adik akan merasakan sakit seperti yang aku rasakan sekarang?

"Lo itu lebay banget sih, harusnya seneng lah kakak lo yang udah lama menjomblo itu akhirnya bakal nikah juga. Bukannya elo yang selalu khawatir dan nyuruh dia cepet-cepet nikah?" cerocos sahabat yang selalu jadi tempat pelarianku ini dengan tidak mengerti. Enak banget dia ngomong gitu. Padahal dia nggak tahu apa yang aku rasain sekarang. Sakit hatinya aku gimana. Aku hanya tidak bisa membayangkan orang lain yang akan menggantikan posisiku masakin sup iga kesukaannya. 

Apakah wanita itu bisa menerima gimana berisiknya Mas Khaidar kalau lagi tidur? Apa wanita itu bisa memilihkan warna dasi yang sesuai dengan kemeja yang dipakai masku? Apa wanita itu bisa peka kalau segala kebutuhan mandi dan parfum masku habis? Apa wanita itu mau menggosok baju  Mas Khaidar yang baru sekali pake dan masih wangi? 

Aaaaaa! Aku tidak bisa membayangkannya. Apa dia bisa mengingatkan masku kalau lagi kerja jangan tidur malam-malam. Apa dia akan tahu vitamin apa saja yang dibutuhkan masku. Nanti kalau masku kekurangan ionnya lagi gimana karena ceweknya sibuk ke salon. Kasian masku aku tidak bisa membayangkannya. 

"Aw" aku mengusapkan keningku yang rasanya sakit sekali. Salsa terkekeh dengan kelakuannya yang sangat tidak sopan sekali, "apaan sih pake nyentil gue segala!" Aku memberengut.

"Lo tuh ya! gue tekanin ya. ELO. ITU. BENERAN. LAGI. PATAH. HATI. sekali lagi gue tekanin ELO. ITU. BENERAN. PATAH. HATI. patah hati sebagai wanita bukan sebagai adik! sadar nggak sih lo!"

"Jangan ngarang lo!" jawabku cepat. Tapi entah kenapa air mata kembali menghujani pipiku, "gue nggak mau Masku nikah, Sa. Gue mau dia selamanya buat gue, Sa! Bukan dengan cewek kemaren atau siapa pun itu, nggak mau!"

Aku nggak tahu apa yang Salsa katakan itu bener apa nggak. Yang aku tahu, aku nggak ingin kehilangan masku. Aku nggak mau dia pergi dari hidupku. Aku... berhenti menangis ketika melihat lelaki yang sudah sangat aku sayangi seumur hidupku muncul di depanku. Ia memandangku dengan kesal. Aku tidak bisa menatap matanya. Kenapa dia harus berekspresi begitu? Harusnya aku yang kesal bukan dia! 

"Sampai kapan kamu mau di sini? Besok ada acara pertunangan dan kamu malah di sini?" suaranya terdengar berat. Aku tahu dia marah. Tapi aku nggak peduli. Bodo amat mau ada acara apa pun itu namanya kalau acaranya berpotensi menyakiti hatiku, aku tidak sudi menghadirinya.

"Talita!"

Aku menggelengkan kepalaku. 

"Aku tidak mau hadir!" Air mata semakin deras menghujani pipiku.

"Ya ampun kamu tidak mau menghadiri acara sepenting itu?" Penting? Penting dari Hongkong!

"Tidak!"

"Pulang!" Aku mencoba menghempaskan tangannya yang mencoba menarikku, tapi gagal. Aku terhuyung dan berdiri sejajar dengannya. Sekarang aku bisa menatap matanya. Mata yang menyiratkan sorot kebahagiaan. Mata yang tengah dilanda kebahagiaan. 

"Apa wanita itu sangat membuat Mas bahagia?" lirihku. Senyum yang disertai anggukannya membuat ngilu hatiku. Bodohnya air mataku nggak berhenti mengalir meski aku sudah tidak terisak. Aku memalingkan wajahku saat dia hendak menghapus air mataku.

"Kalau kamu nangis, besok jelek lo." Bodo amat!

"Mas.." Aku menatap kedalaman matanya, "bisa nggak kamu batalin pertunangan itu sampai aku siap kehilangan kamu? aku belum bisa jauh dari kamu" 

Masku menggeleng dengan tegas. Rasa sakitnya benar-benar menghujam hatiku.

"Aku belum siap kehilangan kamu. Aku belum siap jika harus kamu tinggalin mas, aku mau kamu tinggalin wanita penggoda itu! Aku nggak suka sama wanita kemaren itu. Apa-apaan bajunya aja kekurangan bahan begitu!"

Aku tidak mengerti kenapa lelaki sawo matang ini malah tertawa. Apa dia pikir aku sedang membuat lelucon?

"Dengar ya kalau kamu menyuruh mas meninggalkan wanita penggoda itu, dia pasti akan menangis seumur hidupnya. Dan mas sangat nggak tega melihat dia tersiksa karena kehilangan mas."

Kalau saja aku sedang tidak dalam keadaan berduka, ingin sekali aku menertawakan apa yang baru saja dia ucapkan. Terkadang masku ini memang tingkat percaya dirinya tinggi sekali. Tapi aku tidak akan mengomentari itu. Jika dia tidak tega membuat wanita itu menangis, kenapa dia tega membuatku menangis? 

"Memang ada ya wanita yang akan menangis kamu lebih dari aku, Mas?"

Dia berdecak.

"Memang tidak ada bodoh! Hanya kamu yang akan menangis segila ini sampe kabur dari rumah. Makanya mas nggak bisa ninggalin kamu wanita penggoda! Ayo kita pulang, besok kita bertunangan!"

Satu detik. Dua detik. Tiga detik. 

Otakku sedang berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan Masku itu. Mencoba merangkaikan katanya satu per satu hingga membentuk kalimat utuh yang penuh makna. Dan detik berikutnya aku mulai memahami apa yang baru saja dia ucapkan. Lututku lemas sekali hingga membuatku limbung dan hampir jatuh kalau tidak dibantu masku.

"Apa yang kamu lakukan ke aku itu jahat banget, Mas!" tanganku memukul-mukul dadanya dan detik itu juga aku semakin menangis sejadi-jadinya. Menangis karena perasaan bahagia yang tidak terkira. Dan aku baru tahu kalau wanita yang kemaren masku bawa itu adalah teman yang membantunya membeli cincin pertunangan. Aku merasa malu sudah menganggapnya wanita yang tidak baik.

*** 
 Epilog
"Posisi dia dihatiku?" Lelaki itu mengangguk menjawab pertanyaanku, "mungkin aku bisa bilang kalau dia menempati satu titik kecil dalam ruang di rongga hatiku. Dia...." Aku menghentikan kalimatku melihat rahangnya yang tiba-tiba mengeras. Apa aku salah bicara? Ingatanku memutar ulang apa yang baru saja mulutku ucapkan. Kurasa tidak ada yang salah, aku menjawab apa yang dia tanyakan dengan bahasa yang jujur. Lalu kenapa ekspresinya berubah menjadi kaku seperti itu? Tiba-tiba aku ingin tertawa terbahak-bahak, memikirkan hal konyol yang melintas dalam pikiranku.

"Kamu cemburu?" Aku kembali tergelak melihat ekspresi matanya yang langsung melebar, "iya kamu cemburu!"

Dia tidak menjawab. Mengacungkan tangannya memanggil pelayan dan membayar semua makanan yang baru saja tiba sekitar 15 menit yang lalu.

"Ayo pulang," nada suaranya terdengar dingin.

Aku mengerutkan keningku. Hello! Bahkan makanan yang ada di depan kami saja belum tersentuh. Lalu apa dia bilang? Pulang? Aku berdiri sambil memandang makanan-makanan itu dengan nanar. Makananku! Aku memandang lelaki sawo matang itu dengan memelas. Dia mendecak dan kembali memanggil pelayan tadi kemudian memintanya membungkus makanan kami. Mulutku menyunggingkan senyum. Akhirnya makananku tidak jadi terbuang! Terimakasih calon imamku! 

Ibu menggelengkan kepala melihat anak gadisnya menyantap makanan yang sempat tertunda sampai ke perut ganas anak perempuan satu-satunya ini. Tatapannya seolah mengasihaniku, tanpa merasa bersalah aku nyengir kuda dengan makanan yang masih penuh di mulut.

"Jorok banget sih kamu," Ibu mengerutkan hidungnya, "lagian kalian itu ada-ada saja. Pergi ke tempat makan ujung-ujungnya malah makan di rumah. Tahu begitu ibu saja yang masak."

Aku menunjukkan jariku ke hidung Mas Khaidar. Lelaki yang sejak tadi berubah menjadi manusia pendiam sepanjang sejarah hidupku. Yang aku tahu Mas Khaidar itu orangnya cerewet, apalagi kalau di depan ibu, apa saja dia omongin. Bahkan melalui matanya, ibu mempertanyakan kediaman lelaki yang sebentar lagi menjadi suamiku itu.

"Kamu sariawan, Khai?" aku hampir tersedak mendengar pertanyaan ibu. Mungkin ibu tidak tahan lama-lama melihat kediaman lelaki yang biasanya pecicilan itu. Kalau aku sih bodo amat, bentar lagi juga ngomong sendiri. Dia mah gitu orangnya, ambekan. 

"Pasti gara-gara Talita," tuduh ibu yang membuatku memeletkan lidahku, "yaudah kamu istirahat dulu sana! Biar ibu nasihatin anak nakal ini,"

Tanpa memperhatikan ekspresiku yang mulai memberengut, Mas Khaidar pamit berjalan ke lantai atas menuju kamarnya. Iya, kita tinggal satu rumah. Dari kecil malah. Si Mas jangkung itu anak dari anaknya adik nenek. Tinggal di rumah ini sejak usianya 15 tahun, katanya ingin jagain Talita, sepupunya yang baru masuk SMP. Biar nggak ada yang gangguin. Padahal waktu itu aku merasa aku baik-baik saja dan tidak merasa bahwa kehidupanku akan terancam. Memang dasar dianya yang so kekakak-kakak-an. 

Dan karena aku adalah calon istri yang baik hati, setelah makan aku langsung memasuki ruangan pribadinya. Menggebrak meja kerja seperti biasa dan tidak seperti biasanya ia sama sekali bergeming. Aku memutarkan bola mataku. Dasar lelaki yang baru pacaran sekali! Sekalinya cemburu begini banget. Bikin gemas.

"Mas itu kalau lagi cemburu kadar kegantengannya makin bertambah-tambah tahu."godaku, namun ia masih tetap bergeming.

"Dengar ya mas, wanita itu sesuka-sukanya sama lelaki kalau lelaki itu tidak pernah bertindak lebih untuk dia, lambat laun perasaan suka itu akan hilang. Apalagi kalau ada lelaki yang selalu ada dalam hidup wanita itu, yang membuat dia nyaman, membuat dia bahagia, semua rasa untuk lelaki untuk lelaki idamannya itu akan hilang mas. Meskipun aku bilang ada setitik tempat itu tidak berarti samasekali dibandingkan kamu yang mengisi seluruh tempat tidak hanya di hatiku tapi juga pikiranku. Dan juga...."

"Sssst..." jarinya ia tempatkan di bibirnya, lalu mengisyaratkan untuk menatapnya, "I love you cewek penggoda" 

.....................................................................................................................................................................





Rabu, 07 Juni 2017

Cerpen: Jugun Ianfu




Jugun Ianfu
Oleh: Dita Anggita

"Apa kau pernah mendengar  tentang Jugun Ianfu?" 

DEG!! 

Aku bergeming mendengar pertanyaan Arkha. Darahku rasanya seperti berhenti mengalir. Namun, detak jantung justru berpacu lebih cepat dari biasanya. Apa yang dia tanyakan? 

"Ha?" mulutku tak mampu berkata-kata, lidahku pun rasanya kelu.  

"Jugun Ianfu Ev, itu lo budak seks tentara militer Jepang. Kalo tidak salah itu terjadi saat Perang Dunia II. China, Korea, Malaysia bahkan Indonesia adalah negara-negara korban Jugun Ianfu. Di Indonesia Jugun Ianfu terjadi saat mereka datang untuk mengambil alih penjajahan Belanda tahun 1942, berarti itu sekitar 16 tahun yang lalu." 

"Kau tahu Ev? Betapa mengerikannya mereka saat di usia belia harus menjadi pelayan seks, apalagi dalam sehari mereka dipaksa melayani 5-6 orang. Bayangkan Ev 5-6 orang! Bukan hanya penderitaan fisik mereka bisa saja terkena penyakit kelamin, aku rasa psikis mereka juga pasti terguncang. Kalo mereka menolak, mereka tidak segan-segan disiksa lalu digauli."

 Ya! Aku tau Arkha! Aku tau itu! 

"Bahkan jika mereka hamil, tentara-tentara itu dengan entengnya malah membawa mereka untuk menggugurkan kandungannya dan setelah itu mereka tetap digauli. Kalau aku jadi mereka maksudnya jadi jugun ianfu itu Ev, aku lebih memilih mati!" 

Nada suara Arkha berapi-api. Aku hanya meringis, mendengar penjelasan Arkha yang malah membuatku ingin lari saja dari tempat ini. Ya, saat ini aku sedang berada disalah satu kafe untuk makan malam bersama Arkha, calon suamiku. Usianya 2 tahun lebih tua dariku, aku 29 tahun sedang dia 31 tahun. Kami bertemu di kantor swasta yang didirikan baru-baru ini di Jakarta.

"Kau tahu Ev? Aku bersyukur kau tidak ditakdirkan untuk tinggal di Pulau Jawa, aku takut kalau saja itu terjadi padamu," dia bergidik "kau tahu sendiri kalau kau itu cantik" katanya sambil tersenyum. 

Aku mencoba tersenyum dengan susah payah, wajah dan tubuhku sudah terlanjur membeku dan mati rasa.

"Arkha?"

 "Ya..?"

 "Bagaimana jika kau tahu kalau sebenarnya aku ini adalah seorang Jugun Ianfu?" aku berkata dengan volume suara yang begitu kecil. Aku sendiri sanksi apakah Arkha bisa mendengarnya atau tidak.

"Apa?" tanyanya, "suaramu tak terdengar" Aku menelan salivaku dengan susah payah dan memberanika diri untuk mengatakan, 

"Wanita yang ada dihadapanmu ini adalah seorang bekas Jugun Ianfu"
  
>>>>>>>>>>>> 

Hari ini aku berniat untuk pergi ke pasar. Aku sangat bersemangat karena besok adalah ulang tahunku yang ke 14, dan ibu bilang ia akan mengadakan syukuran. Jadi aku memutuskan untuk berbelanja hari ini. Namun, saat keluar dari kamar, aku terkejut melihat ayah dan ibu yang sedang menangis di hadapan Pak Kades. Dengan cepat kuhampiri mereka.
"Ayah ada apa?" tanyaku polos. 

"Bawa dia!" Perintah Pak Kades. Aku bingung. Bawa siapa? Tiba-tiba bawahan Pak Kades menarikku dengan kasar. Terang saja aku ketakutan dan berteriak histeris.

"Apa yang kalian lakukan? Ayah tolong aku!" Teriakku. Aku terus meronta-ronta. Namun, orang tuaku pun tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka juga ditahan oleh suruhan Pak Kades yang lain.

"Diam! Kalau kau ingin ayah dan ibumu selamat! Ikut kami!" Bentak pak Kades. 
Aku tetap berteriak histeris. Mereka menyeretku dengan paksa. Di tengah perjalanan semua orang dimdesaku melihat kejadian ini. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menatapku dengan kasian. Kejadian ini sudah sangat sering terjadi di sini. Hanya saja biasanya para lelaki yang dibawa oleh mereka. Namun, akhir-akhir ini kami heran sejak Jepang ke Indonesia, wanita-wanita seusiaku yang justru lebih sering digusur paksa. 

Aku dibawa oleh mereka ke sebuah camp rumah sakit tentara militer Jepang. Oh iya, sebelumya aku sudah didandani terlebih dahulu oleh mereka. Saat aku masuk, betapa terkejutnya aku melihat puluhan tentara Jepang memandangiku penuh nafsu. Tidak tanggung-tanggung aku di perkosa secara bergantian oleh mereka. Aku berontak dan menolak tapi mereka malah menyiksaku. Mereka tidak memperdulikan darah yang keluar dari vaginaku. Jujur saja saat itu bahkan aku belum menstruasi.

Kejadian ini terus berlangsung selama 3 bulan, hingga aku sudah merasa gila dan berhalusinasi. Aku ingin mati saja. Di sudut ruangan kulihat ada beberapa gunting. Seketika aku tersenyum bahagia, bagaimana pun aku sudah tidak kuat dengan ini semua. Perlahan aku mengambil gunting itu dan dengan gemetar aku hampir menancapkannya di vaginaku saat tiba-tiba, 

"Tunggu!" Dia mengambil gunting itu dan melemparnya ke sembarang tempat "apa yang kau lakukan? Apa kau gila?" Bentaknya. kepalaku menggeleng dan mulutku tersenyum lemah.

"Hiroshi. Aku ingin mati" jawabku lemah. Tenagaku benar-benar habis karena ulah manusia-manusia, bukan! Binatang-binatang biadab itu. 

"Kau gila?!" ulangnya lagi.
"Kau benar! Aku gila. Aku lelah harus melayani kalian. Kau pun kemari karena ingin menjamahku kan? Kau tidak benar-benar tidak berperi kemanusiaan!" Aku melihat Hiroshi membelalakkan matanya. Dengan tiba-tiba dia memelukku 

"Lihat? Kau memang bajingan!" Teriakku 

"Mulai hari ini kau aman" 

>>>>>>>>>>>>>> 

Mataku terbuka di pagi yang begitu dingin. Dan ya benar, aku sudah tidak tinggal di camp terkutuk itu. Hiroshi telah membeliku dengan harga yang sangat tinggi pada kaisar. Entah dari mana ia mendapat uang itu, mengingat jabatannya saja masih tergolong menengah. Sekarang aku tinggal di Tokyo. Hiroshi membawaku ke luar dari negeriku sendiri. Tidak. Dia tidak menikahiku. Dia menjadikanku sebagai pelayan pribadinya. Namun, dia memperlakukanku dengan sangat istimewa. Semua harta yang dia milikki difasilitaskan untukku. Aku tidak tahu apakah Hiroshi sudah menikah atau belum. Tapi aku pikir mungkin saja dia sudah punya anak di kota lain di negeri sakura ini mengingat usianya yang sudah  hampir kepala empat.

"Kau tidak akan memberikanku anak?" Hiroshi tiba-tiba bertanya begitu saat kami sedang sarapan. Aku hanya mengangkat kedua alisku, "kau sudah 2 tahun tinggal disini, Akemi. Apa kau tidak mau memberikanku seorang anak?" tanyanya lagi. Akemi adalah nama Jepangku. Hiroshi bilang, Akemi itu artinya cantik. Aku sangat menyukai nama itu, terlebih kalau dia yang menyebutkannya.

"Kau sudah punya anak!" Aku berkata sinis. Meski aku berharap ia akan menyangkal pernyataanku.

"Tapi aku ingin punya anak dari darah orang Indonesia." Sesaat hatiku mencelos. Ia tidak menyangkalnya, itu berarti dia memang sudah menikah. Namun perasaan yang lain justru lebih mengusai kekecewaanku. Apa-apaan ini.? Kenapa dadaku berdebar? Aku tidak tahu kenapa aku merasa senang saat Hiroshi menginginkan anak dariku. 
 
"Aku tidak tau Hiroshi." bahuku terangkat, "semua itu rencana Tuhan."

"Berusahalah untuk memberiku seorang anak, agar saat aku pergi kau tidak kesepian" rasa hangat tiba-tiba menjalar di hatiku. Hiroshi memperhatikanku. Hatiku bersorak senang. 

"Akemi. Besok tentara kami akan melawan sekutu Amerika, kuharap kau menjaga dirimu dengan benar." 

"Aku selalu menjaga dirikku." kataku cepat

"Kau tahu, firasatku mengatakan perang kali ini adalah perang yang besar. Bisa saja besok aku mati" Aku menoleh. Pernyataannya membuatku takut. 

"Hiroshi" mengucapkan namanya tanpa tahu harus berbuat apa. Bagiku Hiroshi adalah sosok pahlawan. Ia pelindungku, dan aku tidak ingin kehilangannya. Aku mencintainya. Hiroshi tidak tahu itu. Yang dia tau, aku membencinya semenjak kejadian saat aku akan bunuh diri.

"Aku pergi" katanya. Ada rasa takut  kehilangan dan juga cemas saat Hiroshi mulai berjalan meninggalkanku.

“Hiroshi” aku memanggilnya lagi. Ia menoleh berbalik ke arahku dan tersenyum, “kau akan baik-baik saja” kataku lalu menggigit bibirku. Kulihat dia tersenyum dan mengangguk kemudian mengelus rambutku dan pergi. Kuharap pahlawanku akan baik-baik saja.

>>>>>>>>>>>> 

Saat ini aku sedang berada di taman belakang,  menyiram bunga kesukaan Hiroshi sambil mendendangkan sebuah lagu. Melihat bunga itu aku tersenyum mengingat Hiroshi. Aku sudah tidak sabar ingin memberi kabar gembira untuknya. Dua hari yang lalu aku pergi ke klinik karena merasa pusing dan dokter mengatakan bahwa aku positif hamil. Ini benar-benar kabar gembira mungkin saja dengan ini dia akan segera menikahiku, tapi aku tak terlalu berharap bagaimana pun dia telah menyelamatkanku dari kegilaan dan depresi yang kualami.

Tok..tok..tok

Terdengar ketukan pintu. Aku bergegas menuju pintu dan beberapa tentara Jepang langsung masuk tanpa permisi. Mataku mencari sosok yang teramat kurindukan. Di mana Hiroshi?

“Kau orang Indonesia itu kan?” aku mengangguk, “sebaiknya kau cepat pergi dari sini, Hiroshi telah gugur di medan perang. Dan ia meninggalkan begitu banyak hutang hingga rumah ini harus kami ambil.”
 
Aku tersentak. Bukan karena pengusiran mereka, tapi karena orang yang selama ini selalu melindungiku sudah tak ada lagi dan siapa lagi orang yang aku cintai selain dia? Aku menangis sejadi-jadinya. Memegang perutku yang berisi harta paling berharga peninggalannya. Telah gugur pahlawanku. Telah gugur seserorang yang telah menjadi bagian dalam hidupku. Aku meratap. Seminggu kemudian tentara-tentara itu memberiku tiket dan beberapa lembar uang kemudian mengantarkanku ke bandara.

>>>>>>>>>>

Aku menginjakkan kaki di kampung halamanku. Ibu. Aku rindu ibu dan aku ingin memeluk ibu. Namun naas yang ku dengar ternyata ayah dan ibu sudah meninggal karena dibunuh oleh orang suruhan Pa Kades saat mereka tahu kalau aku sudah tidak lagi di Indonesia. Orang–orang memandangku dengan jijik. Pandangan mereka menghakimiku seakan aku adalah orang paling kotor dan tak pantas berada di muka bumi ini. Ya. Aku diusir keluar. Tak sedikit pula dari mereka yang menimpukku dengan batu-batu kerikil. Tak tahukah kalian kalau ini semua bukan keinginanku?!! Hingga aku harus pergi ke Jakarta dan beberapa tahun sempat terluntang lantung. Anak yang aku kandung pun meninggalkanku saat belum lahir ke dunia ia lebih memilih bersama ayahnya. Baguslah Nak, aku yakin ayahmu akan melindungimu.

>>>>>>>> 

Arkha menatapku dengan sendu. Bahkan ia meneteskan air matanya. Aku tak tau apa yang ia pikirkan tentangku. Mungkin saja ia akan membatalkan pernikahannya denganku. Ya, mungkin saja.

“Kenapa kamu baru cerita sekarang sih Ev?” tanyanya dengan nada kesal. 
Aku merasa bahwa saat ini untuk kedua kalinya aku akan kehilangan orang yang aku cintai. Aku sakit. Dadaku nyeri, namun jika Arkha tak akan bahagia denganku aku pun bisa apa?

“Menceritakan sebuah aib bukan hal yang membanggakan” katakku.

“Ya aku tahu Ev, tapi setidaknya kamu bisa berbagi kesedihan denganku. Tahu begini aku akan langsung menikahi kamu Ev dari dulu dan aku ingin menghapus semua lukamu dan melindungimu seperti Hiroshi, bahkan lebih.”

Speechless. Aku menangis dengan keras. Arkha yang kupikir tidak akan menerima masa laluku justru lebih peduli dari segalanya.

“Ssst. Jangan nangis lagi. Aku tau kamu pasti berpikir kalau aku akan membatalkannya pernikahan kita kan?” aku mengangguk. “Tidak sayang. Aku justru akan lebih menjagamu,sudah cukup kamu menderita selama ini” katanya menenangkanku.

Dan aku bahagia.

Masa laluku memang buruk. Dan tak semua orang bisa menerima kenyataan dan menerima keburukkan orang lain meski tanpa sengaja. Pandangan setiap orang tentu berbeda, namun yang kusarankan pada kalian adalah jangan sesekali menjudge orang saat kau tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya dan kau tak pernah merasakannya. Di sini aku hanya ingin menegaskan bahwa seorang Jugun Ianfu bukan seorang yang harus dijauhi bahkan dihina. Bukan ingin kami menjadi budak seks, kami tak pernah menikmatinya kalau diberi pilihan menjadi pelayan seks atau mati. Maka dengan lantang pasti kami para Jugun Ianfu di belahan bumi manapun akan memilih MATI!!!


-Selesai-